BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi informasi semakin membuat sesuatu menjadi mudah. Dengan menipisnya keterbatasan antar negara untuk mengakses informasi, membuat budaya-budaya dari berbagai negara dapat masuk dengan mudah di tengah masyarakat yang majemuk. Selain hal tersebut, masyarakat saat ini merupakan masyarakat yang biasa dibilang sebagai masyarakat aktif, masyarakat sudah mulai memilih dan selektif ketika ingin memperoleh sesuatu yang mereka butuhkan, termasuk dalam mengadopsi budaya baru yang sebelumnya belum pernah mereka lihat maupun dengar. Hal yang paling disayangkan, masyarakat sekarang lebih condong dan menyukai budaya baru yang bukan budaya asli negara dimana mereka tinggal. Mereka menganggap budaya baru tersebut lebih bagus, hebat, maupun keren..
Peningkatan popularitas budaya K-Pop di dunia internasional banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia, tidak terkecuali masyarakat Indonesia. Perkembangan budaya K-Pop di Indonesia merupakan perwujudan dari perkembangan tekonologi dan informasi. Hal tersebut terjadi karena kebergantungan informasi teknologi dalam dunia hiburan. Presentase terbesar penerima K-Pop di Indonesia adalah remaja. Perkembangan budaya K-Pop yang sangat pesat di Indonesia membuat masyarakat terkhusus remaja banyak terhipnotis dengan budaya Korea tersebut (Rahayu, 2017).
K-Pop tidak akan berjaya seperti sekarang jika bukan karena basis para penggemar. Dalam waktu yang singkat sudah terdapat ratusan, ribuan, bahkan jutaan penggemar budaya K-Pop di seluruh dunia. Hal tersebut dapat dilihat pada pengguna youtube yang kebanyakan usia remaja menyaksikan musik videos K-Pop di Youtube. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 25 Tahun 2014 usia remaja berada pada rentang umur 10-19 tahun. Usia tersebut merupakan usia dimana individu sedang mengalami proses pencarian jati diri. Perkembangan remaja dapat dipengaruhi oleh budaya yang merubah perilaku remaja.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Korean Culture and Information Service kepada penggemar K-Pop menyatakan bahwa, sekitar 66% penggemar K-Pop berada di usia remaja dan dewasa awal usia 20 tahunan, 18% penggemar berusia 30 tahunan, 8% berusia 40 tahunan, 6% berusia 50 tahunan dan 2 % berusia di atas 60 tahun (Juwita, 2018).
Perkembangan K-Pop di Indonesia sedikit banyak telah berpengaruh secara positif maupun negatif pada perkembangan kepribadian penggemar yang sebagian besar merupakan remaja. Karena pada masa remaja terjadi ketegangan emosi yang bersifat khas sebagai masa badai dan topan (storm and stress) atau heightened emotionality. Meningginya emosi terutama karena remaja mendapat tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. Kepekaan emosi yang meningkat sering diwujudkan dalam bentuk, remaja lekas marah, suka menyendiri dan adanya kebiasaan nervous. Hal ini dapat juga dipengaruhi oleh kontrol diri yang dimiliki oleh remaja itu sendiri (Etikasari, 2018).
Secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Masa remaja adalah masa dimana perasaan remaja lebih peka sehingga menimbulkan jiwa yang sensitif terhadap diri dan lingkungan. Remaja menjadi seseorang yang sangat mempedulikan diri sendiri sehingga tidak menyukai hal yang mengganggu identitas diri. Dalam mempertahankan identitas seringkali remaja kehilangan kontrol diri (Franken dkk, 2015).
Kontrol diri dapat diartikan sebagai suatu aktivitas pengendalian tingkah laku. Kemampuan mengontrol diri berkembang seiring dengan bertambahnya usia. Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok darinya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa harus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam seperti hukuman yang dialami ketika anak-anak (Etikasari, 2018).
Kontrol diri remaja penggemar K_Pop merupakan pengendalian tingkah laku individu yang cenderung bertindak positif dalam berfikir. Maksud dari pengendalian tingkah laku disini ialah melakukan berbagai pertimbangan terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu untuk bertindak agar sesuai atau nyaman dengan orang lain. Goleman (Wulandari, 2018), menyatakan kontrol diri adalah keterampilan untuk mengendalikan diri dari api-api emosi yang terlihat mencolok. Tanda-tandanya meliputi ketegangan saat menghadapi stress atau menghadapi seseorang yang bersikap bermusuhan tanpa membalas dengan sikap atau perilaku serupa.
Calhoun dan Acocella (Arlyanti, 2012) menyatakan penggunaan kontrol diri yang optimal dapat menghindarkan individu dari penyimpangan perilaku sekaligus menjadikan individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Karakteristik individu yang mempunyai kontrol diri baik adalah lebih aktif mencari informasi dan menggunakan informasi untuk mengendalikan lingkungan, mempunyai daya tahan yang lebih besar terhadap pengaruh orang lain, mampu menunda kepuasan, serta tidak mudah emosional. Orang yang mempunyai kontrol diri rendah memiliki sifat pasif, menarik diri dari lingkungan, konformitas tinggi, tidak dapat mendisiplinkan diri sendiri, hidup sesuka hati, mudah kompulsi, serta emosional dan reflek respon relatif kasar. Remaja diharapkan memiliki kontrol diri yang kuat sehingga mampu mengendalikan diri serta mengarahkan perilakunya ke arah yang positif.
K-Pop membuat remaja menyesuaikan diri dengan lingkungan, sehingga merubah perilaku remaja kearah negatif. Perubahan ini dapat terjadi karena salah satu karakter yang terdapat pada diri remaja adalah perilaku identifikasi peniruan dan penyeragaman. Hal ini didasari karena masa remaja adalah masa perubahan dari masa anak-anak menuju masa pendewasaan. Pada masa ini terjadi perubahan emosi dan prilaku pada remaja, sehingga masa remaja penuh dengan gejolak akan petualangan untuk mencari jati diri.
Fenomena fanatisme penggemar K-Pop dapat dilihat dari aktivitas-aktivitas yang dilakukannya sebagai penggemar. Salah satu bentuk menonton konser menjadi aktivitas yang ditunggu-tunggu para penggemar K-Pop di Kota Makassar. Demi memuaskan hasrat menonton idola, tak jarang mereka melakukan tindakan-tindakan agresif seperti menunggu para idola di bandara dan mengutit aktivitas idola mereka. Bahkan bahkan rela mengantri dan jauh-jauh pergi ke Jakarta untuk melihat penampilan idola mereka. Seperti yang diungkapkan oleh remaja perempuan asal Kota Makassar yang berhasil penulis wawancarai pada tanggal 15 April 2019 berinitial “R” yang rela ke Jakarta untuk menonton konser girlband Korea, Red Velvet.
Selian itu, bentuk fanatisme penggemar K-Pop adalah kegiatan konsumsi. Kegiatan konsumsi disini bukan berarti hanya membeli sebuah barang tetapi juga mengikuti perkembangan idola melalui media internet. Penggemar K-Pop selalu loyal terhadap idolanya. Kecintaan mereka terhadap idola dianggap berlebihan dan tidak rasional. Perilaku fanatik mereka diperlihatkan dalam kesehariannya mengikuti perkembangan idola mereka melalui akun facebook, twitter, instagram, wichat dan jejaring sosial lainnya. Mereka mengunduh video, baik video klip, iklan maupun variety show.
Sikap fanatik yang telah diuraikan sebelumnya merupakan bukti bahwa kebanyakan penggemar K-Pop dalam mendukung dan mengidolakan idola sangat berlebihan. Fakta yang lebih mengejutkan yaitu ada salah satu yang berinisial “S” asal Indonesia yang mencoba bunuh diri setelah mengetahui idolanya Kim Jonghyun, salah satu member boyband SHINee bunuh diri karena depresi pada tanggal 18 Desember 2017 lalu. Berita tersebut menyebabkan kesedihan yang mendalam bagi penggemar K-Pop seluruh dunia, khususnya “S”. Hal tersebut menunjukkan bahwa fanatisme ada dalam komunitas-komunitas K-Pop (Juwita, 2018).
Menurut Dr. Asmarahadi SpKj dalam keterangannya pada jurnalis Kumpara menyatakan bahwa, kecanduan atau fanatisme terhadap idola mempunyai kesamaan dengan kecanduan narkoba atau game online. Hanya, transisional objeknya berbeda. Pecandu game online objeknya game yang ia mainkan, sementara fans fanatik objeknya idola yang ia puja.” Lebih lanjut Dr. Asmarahadi SpKj menyatakan “soal kecanduan ini sebetulnya bisa dijelaskan secara ilmiah. Dilihat dari sisi usia, Fans K-Pop rata-rata berada dalam rentang remaja hingga dewasa muda. Pada fase ini, salah satu bagian otak manusia, prefrontal cortex (PFC), sedang tumbuh. PFC punya fungsi penting: membuat manusia bisa membedakan baik dan buruk. Pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil survey media kumparan kepada 100 orang fans K-Pop. Hasilnya, sekitar 57 persen dari mereka berada di usia remaja dan dewasa awal, antara 12-20 tahun. Sementara 42 persen fans berusia 21-30 tahun, dengan 1 persen di antaranya berusia di atas 30 tahun (Kumpara, 2017).
Setiap remaja memiliki tingkat kontrol diri yang berbeda-beda. Remaja dengan kontrol diri yang rendah rentan melanggar aturan tanpa memikirkan efek jangka panjang hingga melakukan perilaku menyimpang, adapun remaja dengan kontrol diri yang tinggi akan menyadari perilaku yang dilakukan dengan memikirkan akibat (Pamella, 2014).
Terdapat banyak perbedaan yang mendasar pada diri setiap remaja, salah satunya yaitu perbedaan jenis kelamin. Remaja laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan tingkat kontrol diri yang harus diketahui dan dipahami oleh dirinya masing-masing.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pamella (2014) bahwa remaja perempuan lebih mampu mengendalikan diri dari pada remaja laki-laki, penelitian ini mendukung teori Gottfredson & Hirschi yang mengemukakan bahwa terdapat perbedaan tingkat kontrol diri antara laki-laki dan perempuan, perbedaan tersebut yaitu laki-laki memiliki tingkat kontrol diri lebih rendah dari pada perempuan sehingga banyak ditemukan remaja laki-laki melakukan tindakan negatif dan menyimpang. Dalam teori Gottfredson & Hirschi, tindakan negatif dan menyimpang tersebut terkait dengan perilaku kriminal dan kenakalan.
Hasil penelitian sebelumnya di atas, didukung hasil wawancara penulis pada tanggal 10 April 2019 dengan “NS” merupakan remaja laki-laki penggemar K-Pop. “NS” tidak segan-segan memarahi dengan cancian senonoh bahwa melukai teman sepergaulannya jika menghina atau menjelek-jelekan sang idola. Hal demikian menunjukkan “NS” memiliki tingkat kontrol diri yang rendah.
Salah satu penyebab terjadinya perilaku kriminal dan kenakalan pada remaja dikarenakan kontrol diri yang rendah. Hal demikian juga dapat digambarkan sebagai kegagalan dalam pemenuhan tugas perkembangan. Beberapa remaja gagal dalam mengembangkan kontrol diri yang sudah dimiliki orang lain seusianya selama masa perkembangan (Aroma & Suminar, 2012).
Selanjutnya hasil wawancara dengan “AY”, merupakan remaja perempuan penggemar K-Pop menyatakan jika ada yang menghina idola “AY” tidak menghiraukan, dia memilih untuk untuk diam dan segera pergi ke tempat komunitas dan menceritakan kejadian tersebut ke teman-teman. Hal demikian dilakukan “AY” untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Gottfredson dan Hirschi (Pamela, 2014), membedakan sikap kriminal dan kenakalan yang dilakukan anak laki-laki dan perempuan dengan menunjukkan perbedaan perlakuan berdasarkan gender sejak anak-anak dan pengawasan yang diperolehnya. Hasilnya adalah anak perempuan memiliki kontrol diri yang lebih kuat dari pada anak laki-laki. Penelitian memperlihatkan laki-laki lebih signifikan melakukan kenakalan setelah self dan sosial-kontrol juga diteliti. Itulah yang menyebabkan anak laki-laki lebih nakal dari pada anak perempuan jika melihat dari sudut pandang kontrol diri dan kontrol sosial.
Sedangkan menurut Aroma & Suminar (2012) mengatakan bahwa remaja yang berasal dari keluarga yang minim dukungan terhadap anak, minim kontrol dan pengawasan, serta orang tua yang menerapkan pola disiplin secara tidak efektif akan tumbuh menjadi individu dengan kontrol diri lemah dan memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam perilaku kenakalan remaja.
Telah dijelaskan bahwa salah satu tugas perkembangan yaitu memperkuat self control (kemampuan mengendalikan diri) atas dasar nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup. Peran kontrol diri pada remaja penggemar K-Pop sangat penting karena berguna untuk mencegah terjadinya hal-hal tidak diinginkan, hal ini dikarenakan dengan adanya kontrol diri maka remaja khusunya penggemar K-Pop memiliki kemampuan untuk menyusun, mengatur dan mengarahkan perilaku mereka. Walaupun ada teman atau keluarga yang mengingatkan supaya individu tersebut tidak berperilaku yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain, akan tetapi jika kontrol dirinya rendah dia akan susah untuk menghilangkan kebiasaannya tersebut dalam hal ini kebiasaan terhadap fanatik K-Pop.
B. Rumusan Masalah
Berdarsakan penjelasan tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran tingkat kontrol diri remaja laki-laki penggemar K-Pop di Kota Makassar ?
2. Bagaimana gambaran tingkat kontrol diri remaja perempuan penggemar K-Pop di Kota Makassar ?
3. Manakah yang lebih cenderung tingkat kontrol diri remaja penggemar K-Pop berdasarkan jenis kelamin di Kota Makassar ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui gambaran tingkat kontrol diri remaja laki-laki penggemar K-Pop di Kota Makassar
2. Untuk mengetahui gambaran tingkat kontrol diri remaja perempuan penggemar K-Pop di Kota Makassar
3. Untuk mengetahui kecenderungan tingkat kontrol diri remaja penggemar K-Pop berdasarkan jenis kelamin di Kota Makassar.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang akan dilaksanakan, maka dalam penelitian ini memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Memperkaya wawasan dalam ilmu pengetahuan khususnya di bidang psikologi sosial dan psikologi kepribadian dan psikologi perkembangan..
b. Penelitian ini diharapkan agar dapat menjadi sumber referensi, serta motivasi munculnya penelitian selanjutnya mengenai kontrol diri remaja penggemar K-Pop.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk remaja sehingga dapat mengetahui mengenai pentingnya kontrol diri untuk menghindari terjadi hal-hal yang menyimpang.
a. Penelitian ini diharapkan agar orang tua mampu mengawasi dan memberikan masukan terhadap anak agar tidak terpengaruh dengan lingkungan negatif.
E. Penelitian Yang Relevan
Untuk menjaga keaslian dan menguatkan penelitian, maka penulis memaparkan penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Adapun penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Miftahul Jannah (2014), melakukan penelitian dengan judul “Gambaran Identitas Diri Remaja Akhir Wanita yang Memiliki Fanatisme K-Pop di Samarinda”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya pembentukan diri identitas dilihat dari perubahan perilaku dan penampilan remaja yang merujuk ketujuh bentuk fanatisme pada remaja penggemar K-Pop antara lain adalah K-Pop menjadi kegiatan rutin, perubahan diri, ada ikatan emosi dengan idola, menyatu kedalam komunitas, adanya keinginan untuk mengumpulkan sesuatu yang berhubungan dengan K-Pop idola, menunda persyaratan lain, dan keberadaan pribadi dan sosial interaksi.
2. Sufi Hindun Juwita (2018), melakukan penelitian dengan judul “Tingkat Fanatisme Penggemar K-Pop dan Kemampuan Mengelola Emosi pada Komunitas Exo-L di Kota Yogyakarta”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anggota komunitas EXO-L Yogyakarta memiliki tingkat fanatisme penggemar K-Pop dengan kategori sedang. Hal ini ditunjukkan melalui hasil analisis bahwa anggota komunitas yang memiliki perilaku fanatisme dengan kategori sedang sebesar 89%, kategori tinggi sebesar 9% dan kategori rendah sebesar 2%. Selain itu, anggota komunitas EXO-L Yogyakarta memiliki kemampuan mengelola emosi dengan kategori sedang. Hal ini ditunjukkan melalui hasil analisis, bahwa anggota komunitas yang memiliki kemampuan mengelola emosi kategori sedang sebesar 81%, kategori tinggi sebanyak 19% dan dengan kategori rendah sebanyak 0%.
3. Yulia Etikasari (2018), melakukan penelitian dengan judul “Kontrol Diri Remaja Penggemar K-Pop (K-Popers) (Studi pada Penggemar K-Pop di Yogyakarta)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: a) Kegiatan yang dilakukan keempat subjek sebagai K-Popers adalah mencari berita mengenai idola, download video dan lagu, menonton drama Korea, mengikuti gathering dan acara K-Pop lain, serta membeli merchandise yang berhubungan dengan K-Pop. Keempat subjek memiliki kesulitan dalam mengendalikan perilaku dan emosi ketika ada individu yang mengejek idola mereka. b). Keempat subjek memiliki kontrol kognitif yang tinggi karena subjek mampu mengolah informasi yang didapat tentang idola dengan bijak. c). Keempat subjek lebih mementingkan K-Pop dibandingkan dengan urusan lain. Subjek juga bertindak tidak disiplin dan mengabaikan keselamatan ketika menghadiri acara K-Pop hingga larut malam.
4. Vika Tanwirulfikri (2017), melakukan penelitian dengan judul “Perbandingan Kontrol Diri Remaja Berdasarkan Jenis Kelamin (Studi Komparatif terhadap Peserta Didik SMP Negeri 10 Bandung Tahun Ajaran 2016/2017”. Hasil penelitian menujukkan bahwa : 1) secara umum tingkatan kontrol diri peserta didik berada pada kategori sedang. 2) secara umum, tidak adanya perbedaan yang signifikan antara tingkat kontrol diri laki-laki dan perempuan. 3) Terdapat perbedaan kontrol diri dalam aspek restraint antara peserta didik laki-laki dan perempuan. 4) Tidak terdapat perbedaan kontrol diri dalam aspek impulsivty pada peserta didik laki-laki dan perempuan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kontrol Diri
1. Pengertian Kontrol Diri
Kontrol diri adalah kemampuan individu untuk mengendalikan dirinya sendiri secara sadar agar menghasilkan perilaku yang tidak merugikan orang lain, sehingga sesuai dengan norma sosial dan dapat diterima oleh lingkungannya (https://id.wikipedia.org/wiki/Kontrol_diri).
Etikasari (2018), kontrol diri merupakan suatu tindakan pengendalian tingkah laku individu untuk melakukan sesuatu dengan melakukan pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu. Semakin tinggi kontrol diri individu, maka akan semakin sering pula orang tersebut mengadakan pengendalian terhadap tingkah lakunya.
Titisari (2017), kontrol diri merupakan mekanisme yang dapat membantu mengatur dan mengarahkan perilaku individu. Selanjutnya Chaplin (Titisari, 2017), kontrol diri merupakan kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri dalam menekan dan merintangi impils atau tingkah laku yang bersifat impulsif. Kontrol diri ini berfungsi sebagai kemampuan untuk menahan tingkah laku yang dapat merugikan orang lain, dimana mereka memiliki kontrol diri yang baik juga dan akan mengikuti peraturan yang ada.
Messina (Kenyawati, 2018), juga berpendapat bahwa pengendalian diri (self control) adalah seperangkat tingkah laku yang mempunyai titik fokus pada keberhasilan individu dalam mengubah diri, keberhasilan menolak pengrusakan diri (self-destructive), mempunyai perasaan mampu dan mandiri pada diri sendiri, tidak mudah terpengaruh oleh orang lain, mampu menentukan tujuan hidupnya sendiri dan mampu memisahkan antara perasaan dan pikiran rasional.
Kontrol diri dapat diartikan sebagai suatu aktivitas pengendalian tingkah laku, pengendalian tingkah laku mengandung makna yaitu melakukan pertimbangan terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu untuk bertindak. Semakin intens, pengendalian tingkah laku, semakin tinggi pula kontrol diri individu (Asmoro, dkk 2018)
Berdasarakan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kontrol diri adalah kemampuan individu untuk memandu, mengarahkan dan mengatur perilakunya dalam menghadapi stimulus sehingga menghasilkan akibat yang diinginkan dan menghindari akibat yang tidak diinginkan. Kontrol diri juga dapat diartikan sebagai suatu aktivitas pengendalian tingkah laku. Individu memiliki pertimbangan-pertimbangan ketika berperilaku. Semakin tinggi kontrol diri individu, maka semakin tinggi pengendalian diri individu terhadap tingkah lakunya.
2. Aspek-aspek Kontrol Diri
Averill (Kenyawati, 2018), aspek-aspek kontrol diri dibedakan atas tiga kategori, yaitu kontrol perilaku (behavioral control), kontrol kognitif (cognitive control), dan mengontrol keputusan (decision control). Adapun ketiga aspek kontrol diri tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Kontrol Perilaku (Behavioral Control)
Kontrol perilaku merupakan kemampuan individu untuk memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini dibagi menjadi dua komponen yaitu mengatur pelaksanaan (regulated administrasion) dan mengatur stimulus (stimulus modifiability). Kemampuan mengatur pelaksanaan adalah kemampuan dalam menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri, orang lain atau sesuatu yang berasal dari luar dirinya. Kemampuan mengatur stimulus adalah kemampuan untuk dapat mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki untuk dihadapi.
b. Kontrol Kognitif (Cognitive Control)
Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menafsirkan, menilai atau menggabungkan suatu kejadian untuk mengurangi tekanan. Aspek ini terbagi menjadi dua komponen yaitu memperoleh informasi (information again) dan melakukan penilaian (apraisal). Kemampuan memperoleh informasi (information again) yaitu informasi yang dimiliki individu mengenai keadaan akan membuat individu mampu mengantisipasi keadaan dengan berbagai pertimbangan. Melakukan penilaian (apraisal) adalah usaha individu untuk menilai dan menafsirkan suatu keadaan dengan memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.
c. Mengontrol Keputusan (Decision Control)
Mengontrol keputusan merupakan kemampuan individu untuk memilih dan menentukan tujuan yang ingin dicapainya. Kemampuan mengontrol keputusan ini dapat berfungsi dengan baik, jika individu mempunyai kesempatan, kebebasan, dan cara-cara lain dalam melakukan sebuah tindakan.
Ghufron dan Risnawita (Etikasari, 2018), untuk mengukur kontrol diri biasanya digunakan aspek-aspek sebagai berikut:
a. Kemampuan mengontrol perilaku, yaitu kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan.
b. Kemampuan mengontrol stimulus, yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi.
c. Kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian, yaitu kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian. Informasi yang akurat diperlukan oleh individu sehingga individu dapat mengantipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan.
d. Kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian, yaitu kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian dengan melakukan penilaian dan menafsirkan suatu keadaan dengan memperhatikan sisi positif secara subjektif.
e. Kemampuan mengambil keputusan, yaitu kemampuan individu untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan sesuatu yang diyakini atau disetujuinya.
Sementara itu, Tangney, dkk (Fajariyani, 2018), kontrol diri terdiri dari tiga aspek sebagai berikut:
a. Menghentikan Kebiasaan
Kebiasaan merupakan suatu pola tingkah laku individu yang berulang. Kebiasaan sendiri dapat tergolong menjadi kebiasaan baik dan kebiasaan buruk. Menghentikan kebiasaan disini maksudnya adalah kemampuan individu dalam membatasi atau mengontrol dirinya dalam melakukan hal yang kurang baik. Penggemar K-Pop yang mampu mengontrol dirinya tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan artis idolanya merasa tidak nyaman atau terganggu privasinya. Misalnya, tidak mengikuti idola kemanapun idolanya pergi.
b. Menahan Godaan
Menahan godaan diartikan sebagai kemampuan individu untuk mengontrol diri dari godaan yang datang dari luar. Individu yang mampu menahan godaan akan mampu menyelesaikan tugas tanpa terpengaruh oleh lingkungan sekitar yang lebih menyenangkan. Seorang penggemar yang mencintai idolanya akan cenderung menghabiskan uang mereka dengan membeli barang-barang yang berkaitan dengan idola, atau bahkan membeli tiket konser demi bertemu sang idola.
c. Menjaga Disiplin Diri yang Baik
Disiplin diri yang baik adalah kemampuan individu dalam mengontrol diri untuk fokus pada suatu pekerjaan atau tugas. Individu dengan disiplin diri yang baik mampu berkonsentrasi pada tugas yang sedang dilakukan. Idola K-Pop biasanya memiliki konten-konten yang menarik di media sosial atau platform khusus untuk menjaga komunikasi dengan penggemar. Sehingga penggemar yang sulit untuk menjaga disiplin biasanya akan lebih fokus pada gadget mereka demi mendapatkan info terkait idolanya, dibandingkan melakukan pekerjaan yang lebih bermanfaat lainnya, seperti belajar.
Berdasarkan aspek-aspek kontrol diri yang dijelaskan para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa apabila individu mempunyai kemampuan-kemampuan yang terdapat dalam aspek-aspek tersebut maka individu dapat mengontrol dirinya dengan baik sebaik mungkin, dan individu dapat terhindar dari masalah yang tidak diinginkan.
3. Fungsi Kontrol Diri
Mesina dan Mesina (Titisari, 2017), menyebutkan bahwa pengendalian diri (kontrol diri) mempunyai fungsi-fungsi seperti:
a. Membatasi perhatian individu terhadap orang lain.
b. Membatasi keinginan individu untuk mengendalikan orang lain dalam lingkungannya.
c. Membatasi individu untuk bertingkah laku negatif.
d. Membantu individu dalam memenuhi kebutuhannya secara seimbang.
Logue dan Forzano (Titisari, 2017), menyatakan karakteristik atau cirri-ciri remaja yang mampu memiliki kontrol diri yang tinggi, adalah sebagai berikut:
a. Tekun dan tetap bertahan dengan tugas yang harus dikerjakan, walaupun menghadapi banyak hambatan.
b. Dapat mengubah perilaku menyesuaikan dengan aturan dan norma yang berlaku dimana ia berada.
c. Tidak menunjukkan perilaku yang emosional atau meledak-ledak.
d. Bersifat toleran atau dapat menyesuaikan diri terhadap situasi yang tidak dikehendaki.
Individu dalam melakukan suatu tindakan sebaiknya sudah memiliki rencana terlebih dahulu, sehingga individu tersebut mampu mengontrol dirinya. Dapat dikatakan bahwa remaja yang mampu mengontrol perilaku diharapkan akan mampu mengendalikan perilakunya dalam segala hal, melalui aktivitas atau kegiatan-kegiatan tertentu agar tidak mengarah pada perilaku yang sia-sia dan hanya membuang-buang waktu (Etikasari, 2018).
Aini dan Mahardiyani (Etikasari, 2018), mengungkapkan bahwa ada individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi dan ada individu yang memiliki kontrol diri yang rendah. Secara umum individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi akan menggunakan waktu dengan tepat dan mengarah pada perilaku yang utama. Individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi mampu mengubah kejadian dan mengatur perilaku utama yang membawa pada konsekuensi positif.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri
Ghufron dan Risnawita (Etikasari, 2018) secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol diri adalah sebagai berikut:
a. Faktor Internal
Faktor internal yang ikut andil terhadap kontrol diri adalah usia. Semakin bertambah usia individu, maka semakin baik kemampuan mengontrol diri individu itu dari diri individu. Menurut Buck (Etikasari, 2018) faktor internal yang mempengaruhi kontrol diri terdapat tiga sistem, yaitu: pertama, hirarki dasar biologi yang telah terorganisasi dan disusun melalui evolusi. Kedua, bahwa kontrol diri dipengaruhi usia individu. Kemampuan kontrol diri akan meningkat seiring bertambahnya usia individu. Ketiga, bahwa kontrol diri dipengaruhi oleh kontrol emosi. Kontrol emosi yang sehat dapat diperoleh apabila remaja memiliki kekuatan ego, yaitu suatu kemampuan untuk menahan diri dari tindakan luapan emosi.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang dimaksud adalah lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga, terutama orang tua menentukan bagaimana kemampuan mengontrol diri individu. Bila orang tua menerapkan disiplin kepada anaknya, sikap disiplin secara intens sejak dini, dan orang tua tetap konsisten terhadap semua konsekuensi yang dilakukan anak bila ia menyimpang dari yang sudah ditetapkan, maka sikap konsisten iniakan diinternalisasi oleh anak dan kemudian akan menjadi kontrol diri baginya.
Yusuf (Etikasari, 2018), menyatakan faktor eksternal yang mempengaruhi kontrol diri adalah kondisi sosio-emosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya. Apabila lingkungan tersebut cukup kondusif, dalam arti kondisinya diwarnai dengan hubungan yang harmonis, saling mempercayai, saling menghargai dan penuh tanggung jawab, maka remaja cenderung memiliki kontrol diri yang baik.
Logue (Wulandari, 2018), mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol diri individu adalah sebagai berikut:
a. Genetik
Faktor genetik atau faktor keturunan sangat mempengaruhi kontrol diri individu. Anak yang berasal dari keturunan impulsif maka ia akan mempunyai kecenderungan berperilaku impulsif.
b. Lingkungan (Miliu)
Faktor lingkungan mempengaruhi perkembangan kontrol diri individu yaitu perilaku orang tua yang diamati anak, gaya pengasuhan, dan budaya.
c. Usia
Faktor usia turut pula mempengaruhi tingkat kontrol diri individu. Pada usia kanak-kanak, individu akan cenderung lebih impulsif disbanding individu yang lebih dewasa. Hal itu berarti semakin bertambahnya usia individu, semakin baik pula kemampuannya mengendalikan diri.
Berdasarkan penjelasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol diri menurut ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa secara garis besar terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kontrol diri individu yaitu faktor internal (berasal dari individu itu sendiri) dan faktor eksternal (berasal dari luar individu).
5. Mengembangkan Kontrol Diri
Goleman (Wulandari, 2018) menyatakan bahwa mengembangkan kontrol diri dibutuhkan pengendalian diri untuk menjaga agar emosi, impuls dan tingkah laku tetap terkendali. Cara-cara yang dapat ditempuh untuk mengembangkan kontrol diri individu antara lain:
a. Kemampuan mengelola dengan baik perasaan-perasaan impuls dan emosi-emosi yang menekan, yang mana jika muncul emosi-emosi dari dalam diri entah itu emosi positif ataupun emosi negatif, hendaknya dikelola sesuai porsinya, artinya tidak berlebihan diekspresikan, dan tidak keras ditahan sehingga reaksi yang munculpun tidak akan menjadi suatu yang mengejutkan, dan selanjutnya diri akan mudah mengontrolnya.
b. Kemampuan untuk tetap teguh, tetap positif dan tidak goyah bahkan dalam situasi yang paling berat. Artinya dalam situasi apapun, yang dikehendaki ataupun tidak sama sekali, keteguhan hati dan selalu berfikir positif kepada orang lain dan terhadap hal-hal yang terjadi, akan menjauhkan diri dari emosi negatif yang mungkin muncul atas apa sesuatu yang tidak dikehendaki.
c. Kemampuan berfikir jernih dan tetap terfokus kendati dalam tekanan. Jika terjebak dalam situasi konflik, alangkah baiknya terlebih dahulu meredam emosi yang muncul, dan jika kepala sudah merasa dingin baru memikirkan semuanya dengan fikiran dan kepala dingin tanpa emosi serta berusaha menyelesaikan dengan berkonsentrasi pada satu masalah yang dihadapi, atau tidak mencampuradukkan dengan masalah lain.
B. Remaja
1. Pengertian Remaja
World Health Organization (2014), remaja atau dalam istilah asing yaitu adolescence yang berarti tumbuh kearah kematangan. Remaja adalah individu yang memiliki rentang usia 10-19 tahun. Remaja adalah masa dimana tanda-tanda seksual sekunder individu sudah berkembang dan mencapai kematangan seksual. Remaja juga mengalami kematangan secara fisik, psikologis, maupun sosial.
Izzaty (Etikasari, 2018), masa remaja merupakan salah satu fase dalam rentang perkembangan manusia sejak anak masih dalam kandungan sampai meninggal dunia (life span development). Masa remaja memiliki ciri yang berbeda dengan masa sebelumnya atau sesudahnya, karena berbagai hal yang mempengaruhinya. Kata remaja diterjemahkan dari kata dalam bahasa Inggris adolescence atau adoleceré (latin) yang berarti tumbuh atau tumbuh untuk masak, menjadi dewasa.
Sarwono (2011), remaja merupakan proses individu mengalami perkembangan semua aspek dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Peralihan masa kanak-kanak menjadi dewasa sering disebut dengan masa pubertas. Masa pubertas merupakan masa dimana remaja mengalami kematangan seksual dan organ reproduksi yang sudah mulai berfungsi. Masa pematangan fisik pada remaja wanita ditandai dengan mulainya haid, sedangkan pada remaja laki-laki ditandai dengan mengalami mimpi basah.
Shaw dan Cost (Mukhlisah, 2016) menjelaskan bahwa masa remaja adalah tahap perkembangan yang pesat dalam aspek intelektual. Perkembangan intelektual menjadikan remaja tidak hanya mampu mengintegrasikan diri ke dalam masyarakat dewasa, tapi juga merupakan karakteristik yang paling berpengaruh dari semua periode perkembangan.
Hurlock (2011), secara psikologis remaja adalah usia individu yang memasuki proses menuju usia dewasa. Masa remaja merupakan masa dimana remaja tidak merasa bahwa dirinya tidak seperti anak-anak lagi dan merasa bahwa dirinya sudah sejajar dengan orang lain di sekitarnya walaupun orang tersebut lebih tua. Lebih lanjut Hurlock (2011) mengatakan bahwa menurut hukum di Amerika Serikat saat ini, individu dianggap telah dewasa apabila telah mencapai usia 18 tahun, dan bukan 21 tahun seperti ketentuan sebelumnya. Pada usia ini, umumnya adalah anak-anak yang sedang duduk di bangku sekolah menengah.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa remaja adalah masa perkembangan peralihan antara masa anak dan dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional serta berlangsung antara umur 18 tahun.
2. Ciri-ciri Remaja
Ridwan (2008), menyatakan masa remaja disebut pula sebagai masa adolescence, yang mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Karena rata-rata anak laki-laki lebih lambat matang daripada anak perempuan, maka anak laki-laki mengalami periode awal masa remaja yang lebih singkat, meskipun pada usia 18 tahun, ia sudah dianggap dewasa, seperti halnya anak perempuan. Akibatnya seringkali anak laki-laki tampak kurang matang usianya dibandingkan dengan perempuan.
Hurlock (2011), masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri remaja antara lain:
a. Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan yang dialami masa remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya
b. Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan masa kanak-kanak lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas, keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada emosi perubahan tubuh, minat dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang dianut, serta keinginan akan kebebasan.
d. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat.
e. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan demikian karena sulit diatur, cenderung berperilaku yang kurang baik. Hal ini yang membuat banyak orang tua menjadi takut.
f. Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan dari kaca mata berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam cita-cita.
g. Masa remaja sebagai masa dewasa. Remaja mengalami kebingungan atau kesulitan di dalam usaha meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya dan di dalam memberikan kesan bahwa mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu dengan merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perilaku seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.
3. Tahap Perkembangan Remaja
Sarwono (2011), menyatakan ada tiga tahap perkembangan remaja, yaitu:
a. Remaja Awal
Remaja awal sering dikenal dalam istilah asing yaitu early adolescence memiliki rentang usia antara 11-13 tahun. Pada tahap ini mereka masih heran dan belum mengerti akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan tersebut. Mereka juga mengembangkan pikiran-pikiran baru, mudah tertarik pada lawan jenis dan juga mudah terangsang secara erotis.
b. Remaja Madya
Remaja yang dikenal dalam istilah asing yaitu middle adolescence memiliki rentang usia antara 14-16 tahun. Tahap remaja madya atau pertengahan sangat mebutuhkan temannya. Masa ini remaja lebih cenderung memiliki sifat yang mencintai dirinya sendiri (narcistic). Remaja pada tahap ini juga masih bingung dalam mengambil keputusan atau masih labil dalam berperilaku.
c. Remaja Akhir
Remaja akhir atau istilah asing yaitu late adolescence merupakan remaja yang berusia antara 17-20 tahun. Masa ini merupakan masa menuju dewasa dengan sifat egois yaitu mementingkan diri sendiri dan mencari pengalaman baru. Remaja akhir juga sudah terbentuk identitas seksualnya. Mereka biasanya sudah berpikir secara matang dan intelek dalam mengambil keputusan.
4. Karakteristik Perkembangan Sifat Remaja
Ali dan Asrori (2011), menyatakan karakteristik perkembangan sifat remaja terdiri dari:
a. Kegelisahan
Sesuai dengan masa perkembangannya, remaja mempunyai banyak angan-angan, dan keinginan yang ingin diwujudkan di masa depan. Hal ini menyebabkan remaja mempunyai angan-angan yang sangat tinggi, namun kemampuan yang dimiliki remaja belum memadai sehingga remaja diliputi oleh perasaan gelisah.
b. Pertentangan
Pada umumnya, remaja sering mengalami kebingungan karena sering mengalami pertentangan antara diri sendiri dan orang tua. Pertentangan yang sering terjadi ini akan menimbulkan kebingungan dalam diri remaja tersebut.
c. Mengkhayal
Keinginan dan angan-angan remaja tidak tersalurkan, akibatnya remaja akan mengkhayal, mencari kepuasan, bahkan menyalurkan khayalan mereka melalui dunia fantasi. Tidak semua khayalan remaja bersifat negatif. Terkadang khayalan remaja bisa bersifat positif, misalnya menimbulkan ide-ide tertentu yang dapat direalisasikan.
d. Akitivitas Berkelompok
Adanya macam-macam larangan dari orang tua akan mengakibatkan kekecewaan pada remaja bahkan mematahkan semangat para remaja. Kebanyakan remaja mencari jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi dengan berkumpul bersama teman sebaya. Mereka akan melakukan suatu kegiatan secara berkelompok sehingga berbagai kendala dapat mereka atasi bersama.
e. Keinginan Mencoba Segala Sesuatu
Pada umumnya, remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (high curiosity). Karena memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, remaja cenderung ingin berpetualang, menjelajahi segala sesuatu, dan ingin mencoba semua hal yang belum pernah dialami sebelumnya.
Masalah psikologi masa remaja yang pokok berkisaran sekitar kegagalan menjalankan peralihan psikologi kearah kematangan yang merupakan tugas perkembangan remaja yang penting. Adapun hambatan-hambatan umum yang dihadapi remaja adalah sebagai berikut:
1) Dasar yang Buruk
Remaja yang tidak membentuk dasar yang baik, selama masa kanak-kanak tidak akan dapat menguasai tugas-tugas perkembangan masa remaja. Perkembangan optimal masa remaja bergantung pada keberhasilan tugas perkembangan pada masa bayi dan anak-anak.
2) Terlambat Matang
Remaja yang terlambat matang tidak mempunyai banyak waktu untuk menguasai tugas-tugas perkembangan. Banyak diantara mereka baru menyelesaikan perubahan masa puber pada saat masa remaja hamper berakhir. Banyak faktor penyebab mengapa terjadi demikian.
3) Terlampau Lama Diperlakukan Seperti Anak-anak.
Remaja yang terlambat matang sering diperlakukan seperti anak-anak. Akibatnya, remaja mengembangkan perasaan kurang mampu untuk memikul hak, keistimewaan dan tanggungjawab sesuai dengan kedewasaannya.
4) Perubahan Peran
Remaja yang berasal dari keluarga kurang mampu dan harus bekerja membantu orang tua, dapat mengalami perubahan yang dratis. Ia harus menjalankan peran dewasa lebih awal, dan kurang mempunyai kesempatan untuk mencegah peralihan yang lambat ke masa dewasa.
5. Perkembangan Remaja
a. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik pada remaja ditandai dengan tumbuhnya rambut di tubuh seperti di ketiak dan sekitar alat kemaluan. Pada anak laki-laki tumbuhnya kumis dan jenggot, dan suara membesar. Organ reproduksinya juga sudah mencapai puncak kematangan yang ditandai dengan kemampuannya dalam ejakulasi, dan sudah bisa menghasilkan sperma. Anak laki-laki mengalami ejakulasi pertama kali saat tidur atau yang lebih sering dikenal dengan mimpi basah (Sarwono, 2011).
Hawadi (2004), menyatakan perkembangan fisik anak laki-laki berbeda dengan perkembangan fisik anak perempuan. Pada anak laki-laki lebih tinggi dan lebih berat dari pada anak perempuan, namun hal ini bisa saja berbeda karena tergantung pada perawatan dan kecenderungan pertumbuhan anak.
Perkembangan fisik pada anak perempuan yaitu tumbuhnya payudara, panggul yang membesar, dan suara yang berubah menjadi lembut. Pada anak perempuan mengalami puncak kematangan reproduksi yang ditandai dengan menstruasi pertama (menarche). Menstruasi merupakan tanda bahwa anak perempuan sudah mampu memproduksi sel telur yang tidak dibuahi, sehingga akan keluar bersama dengan darah menstruasi melalui vagina (Sarwono, 2011).
Izzaty (Etikasari, 2018), menjelaskan masa remaja ditandai dengan percepatan pertumbuhan fisik. Pertumbuhan perkembangan fisik pada akhir masa remaja menunjukkan terbentuknya remaja laki-laki sebagai bentuk khas laki-laki dan remaja perempuan menjadi bentuk khas perempuan. Proses pertumbuhan ini dipengaruhi percepatan pertumbuhan yang berimplikasi pada perkembangan psikososial mereka yang ditandai dengan kedekatan remaja pada teman sebayanya daripada keluarga. Perkembangan fisik yang pesat pada diri remaja selalu diiringi dengan perkembangan psikoseksual, diantaranya pemasakan seksual primer dan sekunder. Seiring dengan kematangan seksual, seorang remaja akan mengalami jatuh cinta di dalam masa kehidupannya pada usia belasan tahun. Dalam perkembangan fisik pada usia tersebut telah mencapai kematangan seksual yang mempengaruhi perkembangan sosialnya. Pada masa ini remaja laki-laki mulai tertarik dengan lawan jenis dan sebaliknya.
b. Perkembangan Emosi
Remaja awal mulai ditandai dengan lima kebutuhan dasarnya yaitu: fisik, rasa aman, afiliasi sosial, penghargaan, dan perwujudan diri. Setiap remaja juga masih menunjukkan reaksi-reaksi dan ekspresi emosinya yang masih labil. Remaja awal masih belum terkendali dalam meluapkan ekspresinya seperti pernyataan marah, gembira, dan sedih yang setiap saat dapat berubah-ubah dalam waktu yang cepat (Agustin, 2011).
Izzaty (Etikasari, 2018), masa remaja terjadi ketegangan emosi yang bersifat khas sehingga masa ini disebut masa badai dan topan, masa yang menggambarkan keadaan emosi remaja yang tidak menentu, tidak stabil, dan meledak. Meningginya emosi terutama karena remaja mendapat tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. Kepekaan emosi yang meningkat sering diwujudkan dalam bentuk, remaja lekas marah, suka menyendiri dan adanya kebiasaan nervous.
Emosi yang dimiliki oleh remaja mudah meninggi, terutama karena begitu banyak pengaruh dari sosial dan kurangnya persiapan diri untuk menghadapi kondisi baru. Ketegangan emosi yang meningkat sering nampak pada remaja dalam bentuk lekas marah, berlebihan dalam menyukai atau membenci sesuatu, suka menyendiri, mudah gelisah, cemas, labil dan sentimen. Pada usia remaja juga terjadi perkembangan emosi cinta yang dialami, dalam tahapan perkembangan emosi cinta, remaja akan mengalami tahap crush dan hero worshipping, yaitu remaja mulai memuja orang lain yang lebih tua, baik sesama jenis (crush) atau lawan jenis (hero worshipping) yang umumnya berjarak jauh (Juwita, 2018).
c. Perkembangan Kognitif
Izzaty (Etikasari, 2018), perkembangan kognitif merupakan aspek lain dalam perkembangan remaja, kecerdasan juga mengalami perkembangan baik secara kualitaif maupun kuantitatif. Dilihat dari implikasi tahapan operasional formal pada remaja, maka remaja telah memiliki kemampuan instrospeksi (berpikir kritis tentang dirinya), berfikir logis (pertimbangan terhadap hal-hal yang penting dan mengambil kesimpulan), berfikir berdasar hipotesis (adanya pengujian hipotesis), menggunakan simbol-simbol, berfikir yang tidak kaku berdasarkan kepentingan. Sehingga atas dasar tahap perkembangan tersebut maka ciri berfikir remaja adalah idealisme, cenderung pada lingkungan sosialnya, egosentris hipocrasty (hipokonkrit: kepura-puraan) dan kesadaran diri akan konformitas.
6. Identitas Remaja
Marcia (Etikasari, 2018), berpendapat bahwa teori perkembangan identitas Erikson terdiri dari empat status identitas atau cara yang ditempuh dalam menyelesaikan krisis identitas. Keempat status identitas tersebut antara lain:
a. Identity Diffused, merupakan istilah yang merujuk pada remaja yang belum pernah mengalami krisis ataupun membuat komitmen apapun.
b. Identity Foreclosure, merupakan istilah yang merujuk pada kondisi remaja yang telah membuat komitmen namun tidak pernah mengalami krisis.
c. Identity Moratorium, merupakan istilah yang merujuk pada kondisi remaja yang berada di pertengahan krisis namun belum memiliki komitmen yang jelas terhadap identitas tertentu.
d. Identity Achievement, merupakan istilah yang merujuk pada kondisi remaja yang telah mengatasi krisis identitas dan membuat komitmen.
Erikson (Etikasari, 2018) terdapat beberapa sumber yang dapat mempengaruhi identitas diri remaja, yaitu:
a. Lingkungan sosial, dimana remaja tumbuh dan berkembang seperti keluarga, tetangga, dan kelompok teman sebaya.
b. Kelompok acuan (reference group), yaitu kelompok yang terbentuk pada remaja, misalnya kelompok agama atau kelompok yang memiliki minat yang sama dimana melalui kelompok tersebut dapat memperoleh nilai-nilai dan peran yang dapat menjadi acuan baginya.
c. Tokoh idola, yaitu individu yang sangat berarti seperti sahabat, guru, kakak, artis atau orang yang dikagumi.
C. Penggemar K-Pop (K-Popers)
1. Sejarah Perkembangan K-Pop
Sejarah Korean Pop atau K-Pop pada awalnya bermula pada saat penjajahan Jepang terhadap Korea. Pada saat itu pemerintah Korea melarang segala bentuk budaya Jepang masuk ke Korea seperti musik, film, drama, maupun kartun Jepang. Masyarakat Korea tetap menikmati budaya Jepang meskipun telah dilarang oleh pemerintah. Pada tahun 1998 setelah lepas dari penjajahan Jepang, pemerintah Korea Selatan baru memperbolehkan budaya Jepang masuk ke Korea Selatan. Pemerintah Korea Selatan mencabut segala larangan mengenai budaya Jepang yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga para remaja di Korea Selatan mulai menggandrungi segala hal yang berbau Jepang. Penjualan kaset musik Jepang juga jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penjualan musik Korea. Peristiwa tersebut dipandang buruk oleh kamu tua di Korea Selatan karena mengingat akan penjajahan Jepang pada awal abad 20-an (Taqwin, 2016).
Budaya pop Korea mulai berkembang di Asia Tenggara dan Republik Rakyat Cina pada akhir tahun 1990an. Hal ini menyebabkan masyarakat mulai mengenal istilah Hallyu atau Korean Wave yaitu menyebarnya budaya pop Korea ke seluruh dunia. Hallyu membuat banyak orang ingin mempelajari bahasa dan budaya Korea. Istilah hallyu sendiri diadopsi di Cina setelah album musik pop Korea ditayangkan di Cina dan drama Korea juga mulai ditayangkan di Cina, seperti Vietnam, Jepang, Thailand, Filipina, Indonesia dan lain sebagainya. Drama Korea inilah yang menyebabkan K-Pop mulai mendunia, karena pemerintah Korea melihat prospek bisnis hiburan Korea yang cukup menguntungkan (Taqwin, 2016).
Wuryanta (Taqwin, 2016), budaya Korea mulai melanda Indonesia pada saat program Piala Dunia Korea-Jepang tahun 2002 yang berakhir dengan masuknya Korea sebagai kekuatan empat dunia dalam dunia persepakbolaan dunia. Kesuksesan Korea di Piala Dunia 2002 semakin membuat Korea terkenal di mata dunia, termasuk Indonesia. Selama berlangsunya Piala Dunia beberapa stasiun televisi swasta di tanah air bersaing menayangkan musik, film, maupun drama Korea. Budaya Pop Korea mampu menjangkau segala umur, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa sebagai penikmat budaya Pop Korea, berbeda dengan Pop Jepang yang sudah terkenal sebelumnya karena penikmat budaya tersebut didominasi oleh para remaja.
2. Pengertian K-Pop
Korean Pop atau biasa disingkat dengan istilah K-Pop adalah jenis musik populer yang berasal dari Korea Selatan. Banyak artis dan kelompok musik pop Korea sudah menembus batas dalam negeri dan populer di mancanegara. Kegandrungan akan musik Korean Pop merupakan bagian yang tak terpisahkan daripada demam Korea (Korean Wave) di berbagai Negara. Korean Pop tidak hanya mengenalkan musik tetapi juga mengenalkan budaya lewat kostum, pakaian, dan juga gaya hidup (Mahmudah, 2015).
Korea Musik atau K-Pop sendiri, biasanya terdiri dari boyband/girlband maupun solois. Konsep yang mereka tampilkanpun berbeda dengan konsep yang ditawarkan di Indonesia, ataupun industri hiburan di Negara lain. Korea Selatan mengemas industri hiburannya dengan sangat serius, dimana Manajemen memegang peranan yang sangat besar. Proses inilah yang membuat remaja menjadi terikat dengan group atau artis atau idol yang di sukainya. Karena tidak sekedar mengenal lagu dan wajah, tapi juga mengenali proses sebelum idol, group terbentuk. Makna K-Popers bagi mereka bukan sekedar sekelompok lelaki ataupun perempuan muda menyanyi, berdandan dan menari, tapi lebih dari itu merupakan sekelompok remaja yang mereka tahu prosesya sebelum naik panggung (Mahmudah, 2015).
3. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan K-Pop pada Remaja
Fenomena demam K-Pop belakangan ini, tentu sangat berpengaruh terhadap self konsep para penggemarnya terutama para remaja perempuan. Self konsep adalah kumpulan keyakinan dan persepsi diri mengenai diri sendiri yang terorganisasi. Self konsep bekerja sebagai skema dasar. Bagian dari siapa kita dan bagaimana kita berpikir tentang diri kita sendiri ditentukan oleh identitas kolektif yang disebut sebagai social self. Self social terdiri dari dua komponen, yaitu yang berasal dari hubungan interpersonal dan yang berasal dari keanggotaan pada kelompok yang lebih besar. Tokoh panutan atau role model dapat memberi inspirasi bagi individu untuk menghasilkan harapan yang spektaktuler dan prestasi dalam hubungannya dengan self mereka di masa yang akan datang. Fenomena demam K-Pop (K-Popers), mempengaruhi self concept penggemarnya. Apabila terlalu menginginkan ideal self lalu tidak tercapai, maka akan terjadi depresi (Zainur, 2017).
Izzati (Etikasari, 2018) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pesatnya perkembangan K-Pop pada remaja di Indonesia, yaitu:
a. Perkembangan Internet yang Begitu Pesat
Akses komunikasi informasi yang begitu pesat dimana perkembangan teknologi internet memudahkan individu dengan cepat menerima berbagai informasi secara instan. Adanya berbagai macam media sosial para penggemar K-Pop dengan mudah mengakses informasi seputar idolanya dan mereka semakin dekat dengan idolanya.
b. Wajah Korea Menjadi Hits
Banyak yang menganggap bahwa wajah bintang Korea baik laki-laki ataupun perempuan terlihat proporsional. Bagi sekelompok perempuan menganggap artis perempuan Korea sangat cantik, imut, dan memiliki tubuh mungil serta kaki jenjang seperti boneka dan terbentuklah cantik itu seperti artis Korea. Kemudian untuk artis pria, berbadan besar, jago dance, dan berwajah tampan.
c. Cara Berpakaian
Penampilan artis Korea menjadi suatu trend khususnya pada cara berpakaian yang modis dan stylish. Hal tersebut menjadi salah satu bentuk perhatian dari para fans akan penampilan idolanya masing-masing. Tak jarang mereka mengikuti penampilan artis korea tersebut dari segi busana dan tatanan rambut.
d. Bahasa Korea yang Dinilai Menarik
Banyak sekali anak remaja Indonesia yang bisa berbahasa korea walaupun hanya sedikit tapi mereka mengetahui istilah-istilah dalam bahasa yang sering digunakan oleh orang Korea.
4. Tingkat Kontrol Diri Remaja Penggemar K-Pop
Adanya emosi yang kuat tercipta dalam memaknai K-Pop, dalam hal ini para idol mereka membuat para penggemar mampu membangun keterikatan emosi yang kuat terhadap interaksi dengan Idolanya dan realitas keseharian remaja dengan pemaknaan terhadap fantasi, cita-cita, harapan, motif para fandom terhadap idolnya, sikap dan perilaku mereka kemudian menjadi tolak ukur bagi, para penggemar. Yang kemudian berkembang menjadi konsep diri dalam dunia nyata (Anwar, 2018).
Tartila (Etikasari, 2018) menyatakan bahwa para remaja penggemar K-Pop sering dikaitkan dengan stereotip karena banyak yang menganggap remaja penggemar K-Pop terlalu berlebihan dalam menyukai idolanya. Penggemar K-Pop dianggap selalu gila, histeris, obsesif, adiktif, dan konsumtif. Bahkan ada juga yang tanpa sadar menyebabkan idolanya bisa tanpa sengaja terluka atau cedera ringan akibat antusiasme K-Popers tersebut.
Etikasari (2018), menyatakan penggemar yang ketika mendengar lagu K-Pop diputar, tidak peduli waktu dan tempat, akan mulai menari mengikuti irama sambil menyanyi. Selain itu, ada juga K-Popers yang sering terlibat fanwar (pertengkaran K-Popers) yang disebabkan karena hal-hal yang sepele, seperti saling ejek idola dan lain sebagainya. Perilaku remaja penggemar K-Pop tersebut dipengaruhi oleh kontrol diri yang dimiliki masing-masing remaja. Semakin tinggi kontrol diri yang dimiliki remaja tersebut, maka hal-hal yang disebutkan di atas tidak akan terjadi. Sebaliknya, apabila semakin rendah kontrol diri yang dimiliki remaja tersebut, maka hal-hal yang telah disebutkan di atas akan sering terjadi.
Menurut Anwar (2018), dalam penelitianya menyatakan bahwa interaksi, orientasi hidup dan motif mempengaruhi cara remaja bertindak dan berpikir, remaja menganggap K-Pop mengajarkan mereka tentang budaya, etika bahkan perjuangan. Berbanding terbalik dengan stereotype yang berkembang di masyarakat tentang K-Pop. Kesukaan akan K-Pop atau idolnya pun oleh para remaja membawa hal yang positif sebab membuat remaja berani berinteraksi dengan orang-orang di luar lingkungan sekolah maupun keluar, kesukaan mereka mendorong mereka untuk berinteraksi dengan dengan orang asing melalui media sosial ataupun internet untuk memenuhi kesukaannya terhadap idonya. Remaja menganggap menjadi bagian dari fandom membantu kepercayaan diri mereka untuk bergaul dengan lingkungan yang besar diluar zona nyaman mereka, lingkungan yang memang mereka cari dengan kesadaran dan sengaja. Sehingga terjadi proses interaksi sosial budaya, etnis hingga membuat kegiatan bersama, aksi sosial yang memang tidak banyak terekspos media.
D. Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka pikir adalah hasil sintesis dari proses berpikir deduktif (aplikasi dari teori) dan induktif (fakta yang ada, atau empiris), kemudian dengan kemampuan kreatif-inovatif menghasilkan konsep atau ide baru yang disebut dengan kerangka konseptual (Ma’ruf, 2015). Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan ahli tersebut, maka kerangka pikir penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1
Kerangka Pikir Penelitian
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif deskriptif dengan metode survey. Penelitian kuantitatif deskriptif merupakan bentuk penelitian untuk mendapatkan informasi data yang luas dari suatu populasi atau sampel tertentu mengenai fenomena-fenomena yang terjadi saat ini dengan analisis data yang bersifat statistik (Sukmadinata, 2015).
Metode survei merupakan bagian dari penelitian kuantitatif deskriptif. Menurut Van Dalen (Arikunto, 2006) menyatakan metode survey merupakan bagian dari studi deskripsi yang bertujuan untuk mencari kedudukan (status) fenomena (gejala) dan menentukan kesamaan status dengan cara membandingkan dengan standar yang ditentukan.
Menurut Morissan dan Farid (2012) penelitian survey bisa dibagi ke dalam dua kategoti, yaitu survey deskriptif dan survey analitis. Survey deskriptif berupaya menjelaskan atau mencatat kondisi atau sikap untuk menjelaskan apa yang ada saat ini. Penelitian ini sesuai dengan variabel yang digunakan oleh peneliti dalam mengungkap atau mengindentifikasi tingkat kontrol diri remaja penggemar K-Pop.
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Pada penelitian ini terdapat satu variabel yang akan diteliti, yaitu kontrol diri remaja penggemar K-Pop. Kontrol diri yang dimaksud dalam definisi operasional variabel ini adalah kemampuan remaja penggemar K-Pop dalam menyusun, membimbing, mengatur, mengarahkan dan mengubah bentuk perilaku melalui pertimbangan kognitif sehingga perilakunya tersebut menuju kearah yang lebih positif dari sebelumnya, yang ditandai dengan aspek behavioral control, cognitive control, dan decision control dengan tujuan untuk mereduksi tingkat kontrol diri remaja penggemar K-Pop.
C. Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan kontrol diri remaja laki-laki dan perempuan penggemar K-Pop. Desain penelitian ini menggunakan pendekatan komparatif. Menurut Gay (Emzir, 2015), penelitian komparatif adalah penelitian dimana peneliti berusaha menentukan penyebab atau alasan, untuk keberadaan perbedaan dalam perilaku status dalam kelompok individu.
Pendekatan komparatif dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa penelitian ini menekankan analisis data yang diolah dengan statistik. Pendekatan ini memungkinkan dilakukannya pencatatan data hasil penelitian dalam bentuk angka, data atau hasil riset dianggap yang merupakan representasi dari seluruh populasi sehingga memudahkan dalam menganalisis dan menafsirkan data.
D. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan memberikan dan menyebarkan kuesioner kepada responden lalu menanyakan kesediaannya untuk mengisi kuesioner. Daftar pertanyaan yang digunakan adalah pertanyaan terstruktur dan responden tinggal memberi tanda ceklis (√) pada jawaban yang dipilih, kemudian responden langsung mengembalikan daftar pertanyaan setelah diisi. Pengukuran penelitian ini menggunakan kuisioner dimana responden diminta untuk menjawab sesuai dengan pendapat dan yang dirasakan responden. Semua instrumen menggunakan skala likert.
Skala disajikan dalam pernyataan favourable (pernyataan mendukung) dan unfavourable (pernyataan tidak mendukung). Setiap pernyataan item setiap skala memiliki 4 alternatif jawaban yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Pada setiap pernyataan akan memiliki skor yang berbeda, untuk lebih jelasnya skorsing skala kontrol diri remaja penggemar K-Pop dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1
Skoring Skala Kontrol Diri
Pertanyaan |
Item |
|
Favorable |
Unfavorable |
|
Sangat Sesuai (SS) |
4 |
1 |
Sesuai (S) |
3 |
2 |
Tidak Sesuai (TS) |
2 |
3 |
Sangat Tidak sesuai (STS) |
1 |
4 |
Tahap pengumpulan data meliputi: (a) penyampaian tujuan pengisian kuesioner kepada responden; (b) penyebaran angket, menjelaskan petunjuk pengisian angket; (c) pengumpulan angket; dan (d) studi dokumentasi dilaksanakan dengan melakukan pengamatan terhadap hasil dokumentasi yang diambil saat pelaksanaan kegiatan penelitian berlangsung.
E. Validitas dan Reabilitas
Menurut Siregar (2017:125), uji validitas digunakan untuk mengukur sejauh mana suatu alat ukur mampu mengukur apa yang dikur. Uji validasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji validitas butir soal, suatu instrument dikatakan valid apabila nilai product moment yang dihasilkan melebihi 0,30. Selain itu, uji validasi dapat dilakukan dengan membandingkan nilai rhitung dengan rtabel. Jika nilai rhitung > rtabel maka instrument (kuesioner) yang dibagikan valid. Sebaliknya jika rhitung < rtabel maka instrument (kuesioner) yang dibagikan tidak valid.
Selain uji validitas, dalam penelitian ini dilakukan uji rebalitas. Menurut Siregar (2017:125), uji reabilitas bertujuan untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten, apabila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat ukur yang sama pula. Untuk mengukur reliabel dari instrumen penelitian dilakukan dengan Cronbach's Alpha. Uji reliabilitas dilakukan dengan metode one shot dimana pengukuran dilakukan hanya satu kali dan kemudian hasilnya dibandingkan dengan pertanyaan lain atau mengukur korelasi antara jawaban. Suatu variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai cronbach’s alpha > 0,60.
Uji validitas dan reabilitas dalam penelitian dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 21.
F. Analisis Data
Teknik analisis data yang akan digunakan adalah teknik statistik deskriptif. Menurut Arikunto (2006), teknik statistik deskriptif merupakan teknik pengolahan data dengan tujuan menganalisis dan menggambarkan data dengan perhitungan modus, median, mean dan standar deviasi. Pada statistik deskriptif akan ditentukan kategorisasi kecenderungan dari tiap-tiap variabel didasarkan pada norma kategorisasi. Pengelompokan kategori dalam penelitian ini terdiri dari 3 kategori, yaitu kategori tinggi, sedang, atau rendah. Kategori ini didasarkan pada besarnya simpangan baku (SD) ideal dan rerata nilai (mean) ideal. Penelitian ini juga akan membandingkan kecenderungan kontrol diri remaja penggemar K-Pop berdasarkan perbedaan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan SPSS versi 21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar