Rabu, 03 Mei 2017

RESENSI BUKU RITUS MODERNISASI (ASPEK SOSIAL DAN SIMBOLIK TEATER RAKYAT INDONESIA)



RESENSI BUKU RITUS MODERNISASI
(ASPEK SOSIAL DAN SIMBOLIK TEATER RAKYAT INDONESIA)

UMM (Big)
OLEH

NASGITO CANDRA
105330681211





JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
NOVEMBER, 2016



Judul                           : Ritus Modernisasi (Aspek Sosial dan Simbolik Teater
                                      Rakyat Indonesia)
Pengarang                   : James L. Peacock
Penerjemah                  : Eko Prasetio
                                      (Bagian “Afterword 1987” diterjemahkan oleh Mh Nurul
                                      Huda)
Penerbit                       : Desantara
Tahun Terbit                : Cetakan I September 205
Kota Terbit                  : Jakarta Selatan
Jumlah Halaman          : 310 halaman. Ukuran 15,5 cm x 23,5 cm

1.    Pendahuluan
Buku Ritus Modernisasi Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia (selanjutnya Ritus)  karya James L. Peacock ini merupakan hasil penelitian penulisnya mengenai ludruk di Surabaya pada tahun 1960an. Meskipun buku ini dianggap sebagai salah satu karya yang cukup memadai sebagai contoh penerapan asumsi-asumsi antropologi simbolik dan interpretatif, namun tak pelak akan menimbulkan suatu tanda tanya besar mengenai relevansinya di masa kini dengan kehidupan Indonesia secara umum, dan Surabaya secara khusus. Oleh karena itu, mungkin ada sebagian orang (pembaca) yang menganggap bahwa upaya penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia sudah terlambat, karena asumsi-asumsi penulisnya mengenai masyarakat Indonesia kini tidak valid lagi, mengingat telah terjadinya perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam segala bidang di republik ini.
Tentu saja anggapan-anggapan serupa itu tidak terlalu keliru, karena memang demikian kenyataannya, bahwa realitas bangsa Indonesia kini telah berbeda dibandingkan dengan kondisi di tahun 60an. Akibat sistem politik yang terbuka, sejak Presiden Soeharto menggantikan Presiden Soekarno, serta kehidupan dunia yang semakin mengglobal, masyarakat Indonesia telah menjadi salah satu warga dunia yang tak lagi bisa mengisolasikan diri. Sekat-sekat geografis, politis, dan juga sosiologis, dengan demikian, menjadi kurang memiliki arti dalam menjaga mimpi tentang ‘kemurnian’ tradisi. Sikap, gaya, atau pandangan hidup yang semula masih kental dengan keramah-tamahan Timur, kini nyaris tak lagi berbeda di belahan-belahan dunia lainnya, karena melalui televisi, internet, atau alat-alat informasi dan transportasi, semua telah saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. “Dunia telah menjadi kampung besar’, demikian ucapan Marshall Mc Luhan.
Akan tetapi, bukan berarti penerbitan buku Ritus itu tidak lagi memiliki relevansi dengan kehidupan masyarakat Indonesia, karena beberapa alasan. Pertama, bahwa maju-mundur suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh kesadarannya pada masa lalu, pada sejarahnya. Suatu bangsa akan stagnan atau ‘berjalan di tempat’ jika tidak belajar pada kesuksesan atau kegagalan di masa lalunya. Buku karya Peacock ini bisa dijadikan sebagai dokumen kehidupan masa lalu yang bisa dibaca ulang agar kita bisa memahami sudah sejauh mana perubahan yang terjadi di negeri ini. Kedua, bila kita mengikuti asumsi strukturalisme Levi Strauss mengenai struktur luar dan struktur dalam, kehadiran buku Ritus juga bisa digunakan untuk memahami strutur dalam bangsa Indonesia yang sebetulnya tidak berubah, walaupun pada struktur luarnya telah terjadi perubahan-perubahan yang tampak cukup signifikan.  Ketiga, meskipun versi Inggrisnya telah terbit pada tahun 1968, namun karya Peacock ini kurang dikenal atau tidak berbekas di kalangan peneliti seni Indonesia, dibandingkan dengan Brandon atau Geerzt, misalnya, padahal penulisnya dianggap sebagai salah satu peletak pendekatan relatif baru dalam antropologi yang menggoyahkan orientasi pada eksotisme-sakralisme, sejajar dengan Turner dan Geerzt.
Atas alasan-alasan tersebut di atas, saya menganggap bahwa penerbitan buku Ritus dalam versi Indonesia di tahun 2005 itu, meskipun memiliki rentang yang cukup lama dengan versi Inggrisnya yang telah terbit di tahun 1968, namun cukup penting diketahui oleh masyarakat secara umum, dan masyarakat akademik secara khusus. Dalam  penelitian-penelitian seni karya orang-orang Indonesia yang saya ketahui, pendekatan Peacock kurang dijadikan sebagai rujukan. Beberapa peneliti, seperti Ninuk Kleden-Probonegoro yang meneliti Lenong Betawi, atau tulisan saya sendiri mengenai Jeprut di kota Bandung, memang telah mencoba menggunakan pendekatan Peacock, meskipun tidak menggunakannya secara penuh; namun secara umum tampaknya pendekatan simbolik Peacock ini belum pendekatan yang lumrah, padahal dengan mengunakan pendekatannya itu, menurut hemat saya peneliti akan bisa menjangkau hal-hal muskil yang nyaris lepas dari perhatian pendekatan-pendekatan lainnya.

2.    Tentang Isi Buku Ritus
Buku Ritus terdiri dari empat bagian yang dibagi dalam 16 Bab, ditambah Lampiran, dengan jumlah halaman 310, fontase book antiqua, ukuran 10, dan spasi single. Meskipun bahasa terjemahannya cukup baik, tetapi karena kualitas cetakannya tidak terlalu baik, ditambah hurufnya yang terkesan berdesak-desakkan, maka dalam membaca buku ini kita harus ekstra perhatian, dan cukup melelahkan. “Medium is message”, kembali mengutip McLuhan. Jadi, meskipun substansinya cukup bagus, tapi bila cara menyampaikannya kurang baik, maka pesan itu tidak akan terlalu baik juga diterima oleh komunikannya.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan mengelaborasi bagian per bagian dari isi buku Ritus, tapi akan menjabarkan kesan umum yang saya tampak dari isi buku ini secara keseluruhan.
Hal pertama yang bisa kita tangkap dari buku ini adalah tujuannya, yaitu berupaya mengeksplorasi hubungan antara ludruk, sebagai salah satu bentuk teater itu, dengan masyarakat Jawa” (hal. 5). Bagi pengarangnya ludruk itu “ritus modernisasi”. Maksudnya, ludruk merupakan tindakan simbolik dari orang Jawa (Surabaya) yang memiliki konsekuensi-konsekuensi sosial tertentu, yaitu mendorong terjadinya proses modernisasi.
Frase “Ritus Modernisasi” yang digunakan Peacock tampaknya sejajar dengan “Ritus-ritus Peralihan” (Rites of Passage) dari Arnold van Gennep. Menurut van Gennep kehidupan manusia itu merupakan suatu peralihan dari situasi satu ke situasi lainnya. Peralihan-peralihan itu dianggapnya sebagai sebuah ritus. Peralihan-peralihan itu bisa dianggap pula sebagai tindakan-tindakan simbolik yang tampaknya berbeda dengan struktur kehidupan sehari-hari. Khitanan, perkawinan, atau upacara penguburan merupakan ritus-ritus yang biasanya melingkupi kehidupan manusia dalam suatu kebudayaan tertentu. Meskipun ia merupakan bagian dari kehidupan, tapi maknanya biasanya tidak disamakan dengan persoalan rutin sehari-hari. Ritus-ritus itu merupakan tindakan simbolik yang memiliki makna yang lebih mendalam dibandingkan dengan tindakan-tindakan sehari-hari lainnya.
Menurut Peacock, ludruk membantu orang menetapkan gerak peralihan dari satu situasi ke situasi lainnya, yaitu dari situasi-situasi tradisional menuju situasi-situasi modern. Dalam kehidupan sehari-hari, peralihan dari situasi-situasi tradisional menuju situasi-situasi modern ini memiliki beberapa bentuk, seperti: seseorang meninggalkan daerah asalnya (tradisional) menuju kota untuk bekerja di paberik (modern); ada peralihan dari satu ruang yang tradisional (rumah) menuju ruang modern (kantor); juga peralihan dari satu pemikiran yang kuno ke pemikiran yang dianggap modern. Ludruk mencakup semua peralihan itu. Dengan demikian, ludruk dapat membantu memahami gerak-gerak peralihan tersebut, juga sekaligus membantu orang-orang yang terlibat dalam gerak peralihan tersebut untuk memahami posisinya.
Dalam memahami fungsi ludruk sebagai ritus modernisasi, Peacock menggunakan dua klasifikasi simbolik yang selalu digunakan orang Jawa, yaitu skema alus (halus) dan kasar, yang dapat disebut sebagai sebuah kosmologi, dan skema maju (progresif) dan kuno (konservatif), yakni skema klasifikasi yang disebut sebagai sebuah ideologi. Kedua skema tersebut, meskipun bukan merupakan skema-skema yang penting bagi partisipan ludruk yang umumnya masyarakat kelas bawah, menurut pandangan Peacock merupakan skema-skema yang sering digunakan oleh partisipan (para penonton dan pemain) ludruk tersebut.
Skema alus dan kasar biasanya digunakan oleh masyarakat kelas bawah Surabaya untuk mempertentangkan antara: rumah megah dengan rumah kampung, bahasa kromo inggil dengan ngoko, wayang kulit dengan pertunjukan-pertunjukan rakyat seperti ludruk, gaya bicara yang halus dengan gaya bicara yang nyerocos, musik gamelan dengan lagu-lagu rakyat, orang-orang kebudayaan Jawa dengan orang-orang kebudayaan Madura, tahu rasa malu dengan muka tembok, dan sebagainya. Sedangkan maju dan kuno dipergunakan untuk mempertentangkan antara: ketiak yang terbuka dengan ketiak yang tertutup, rambut yang tergerai dengan rambut yang terikat rapi, memakai bahasa Indonesia dengan memakai bahasa Jawa, memakai celana yang ketat dengan memakai sarung, film-film bioskop dengan wayang kulit, memperingati hari-hari nasional dengan perayaan-perayaan hari-hari yang dianggap sakral oleh adat, terdidik dengan buta huruf, menggunakan bidan dengan menggunakan dukun, dan sebagainya.
Dalam kesimpulan penelitiannya Peacock melihat bahwa ludruk itu mengekspresikan simbolisme alus-kasar dan maju-kuno dalam parikan-parikan, kidungan-kidungan, cerita-cerita, percakapan-percakapan, dan tarian-tarian. Di samping itu, dalam pandangan penelitinya skema oposisi ideologi maju-kuno sedang menggeser skema oposisi kosmologi alus-kasar, karena kosmologi hanya berfungsi dalam masyarakat tradisional, sementara masyarakat yang ada sudah tidak tradisional lagi. Skema  ideologi maju kuno memberi makni dan legitimasi terhadap proses modernisasi.
Tentang modernisasi, Peacock bertolak dari definisi yang diuraikan Marion J. Levy, Jr. dalam bukunya yang berjudul Modernization and Structure of Societies, yang menyebutkan bahwa ketika masyarakat telah mencapai suatu titik yang disebut modern, maka dalam kehidupannya terjadi peningkatan spesialisasi unit-unit sosial, peningkatan etika universal, terjadi perluasan pasar dan media pertukaran, sentralisasi, birokrasi, adanya peningkatan idealisasi keluarga kecil yang multilinear, peningkatan kepercayaan pada “rasionalitas”, “keberjarakan”, “spesifikasi fungsional”, dan “universal” dari relasi-relasi sosial. Meskipun kecenderungan-kecenderungan modernisasi Levy ini digunakan oleh Peacock dalam menganalisis ludruk dan masyarakat Jawa, namun ia menggunakan istilah yang berbeda untuk menyebut “peningkatan idealisasi atas keluarga inti yang multilinear” menjadi “konjugalisasi”, dan “peningkatan perluasan pasar dan alat tukar” menjadi “komersialisasi” (hal. 231- 233).
Di bawah ini uraian yang lebih umum yang diberikan oleh Peacock untuk menandai kecenderungan terjadinya suatu pergeseran dari masarakat tradisional menuju masyarakat  modern dalam kehidupan orang Jawa, khususnya di Surabaya, seperti yang tercermin dalam ludruk:
a.    Spesialisasi.
Peran kampung dalam kehidupan para penduduk semakin menyusut, ini terlihat misalnya dengan menurunnya ritus-ritus dan simbol-simbol (bersih desa, danyang) sebagai tanda pentingnya kampung atau desa sebagai unit unit sosial. Orang-orang kampung semakin sering terlibat dalam unit-unit spesialis ekstra-kampung, dan kurang terlibat di kampung.
Ludruk awalnya  hanya menggambarkan karakter-karakter orang kampung, namun pada saat penelitian dilakukan ludruk semakin berkonsentrasi untuk mengidealkan masyarakat ekstra-kampung, dan menjadikan masyarakat kampung sebagai bahan tertawaan. Yang menarik, adegan akhir pertunjukan ludruk biasanya menggambarkan situasi-situasi ideal, dan tak pernah digambarkan berlangsung di kampung. Singkat kata, dengan caranya yang beragam, ludruk mendorong para partisipannya, atau menstimulus anak-anak mereka, untuk kurang terlibat dalam kampung dan keluarga, namun dalam unit-unit tertentu dalam masyarakat Surabaya.
b.    Sentralisasi.
Menurunnya otonomi kampung dan semakin menyatunya kampung dengan pemerintah kota dan negara. Ritus-ritus yang berskala nasional, seperti peringatan kemerdekaan) dan simbol-simbol kota-bangsa-kampung menggantikan ritus dan simbol yang sepenuhnya bersifat kampung (bersih desa, slametan, danyang).
Saat penduduk kampung sibuk di luar kampung,  mereka sering bertemu dengan etnik, religi dan faksi politik yang heterogen. Jika slametan merupakan ritus untuk mengharmoniskan masyarakat yang homogen, maka ludruk merupakan ritus yang menggambarkan  keharmonisan keberagaman orang dengan latar belakang agama, etnik, politik yang berbeda dalam pengalaman kehidupan ekstra-kampung. Di samping itu, ludruk melatih para partisipannya untuk bergerak dalam sebuah masyarakat yang berskala besar, berjarak, dan tersentralisasi, seperti berjual beli dengan orang asing, berempati dengan para pimpinan politik yang tidak dikenal secara pribadi, dan sebagainya.
c.    Universalisasi.
Proses universalisme merupakan proses meningkatnya penekanan pada apa yang dikerjakan dan pada cara menilai orang berdasarkan pada apa yang mereka bisa lakukan ketimbang berdasarkan pada siapa mereka (yakni asal-usul kelas mereka).  Jika dibandingkan dengan slametan yang memberikan pengalaman harmoni dengan orang-orang, ludruk justru memberikan pengalaman mengenai orang-orang yang berusaha secara aktif dan berhasil, dan mencapai status yang lebih tinggi bagi diri sendiri.
Dalam mendukung universalisme, ludruk secara tidak langsung mempengaruhi etika orang-orang kalangan atas yang mengontrol masyarakat Jawa karena ludruk disaksikan oleh kalangan bawah, meskipun beberapa kalangan atas ada juga yang mendengarkan ludruk melalui radio.

d.   Rasionalisasi
Tindakan rasional merupakan tindakan yang memperlihatkan suatu perbuatan untuk mencapai tujuan yang tertentu dengan cara yang tak tepat, bukan didasarkan klaim bahwa tindakan-tindakan itu telah sesuai dengan tradisi. Ludruk menjustifikasi tindakan-tindakan maju lebih sering secara rasional ketimbang tindakan-tindakan maju.
Ada penurunan nilai-nilai alus saat nilai-nilai rasional meningkat. Tindakan alus dinilai berdasarkan tindakan itu dalam dirinya sendiri, seperti keindahannya, aura keagamaan, atau harmoni sosial yang melingkupinya. Sedangkan tindakan rasional dinilai berdasarkan penggunaannya sebagai suatu cara untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam ludruk, ada gerakan menuju “pelepasan dunia magis”. Melalui pertunjukan dan penataan panggungnya, ludruk mengungkapkan berkurangnya keyakinan akan kekuatan magis sebagai sesuatu yang melingkupi objek.
e.    Spesifikasi
Ketika orang-orang bergerak dari relasi-relasi penduduk desa ke relasi-relasi di antara penduduk kampung perkotaan, maka mereka akan semakin bergerak ke arah relasi fungsi yang spesifik.
Ludruk memperlihatkan suatu perubahan fungsi-fungsi dari yang rumit yang diemban oleh seorang penduduk, menjadi fungsi-fungsi yang lebih sederhana. Bila penduduk desa memiliki fungsi yang begitu banyak, seperti harus membantu tetangga, ikut upacara atau ritual yang dilaksanakan di kampung, membantu tetangga membangun rumah, maka ludruk memberikan suatu gambaran tentang fungsi yang spesifik yang diemban oleh seorang penduduk dari suatu masyarakat. Ludruk menggambarkan relasi-relasi yang sederhana, seperti penggambaran penjual-pembeli, pengutang-yang berhutang, majikan-bawahan, yang memiliki kewajiban-kewajiban yang dangkal dan spesifik.
f.     Keberjarakan
Dengan keberjarakan dimaksudkan bahwa relasi sosial dalam suatu masyarakat modern itu meminimalkan gambaran emosional dan kontak atau keterlibatan personal.
Menurut Peacock ludruk meremehkan beberapa relasi masyarakat yang semula begitu nintim dalam masyarakat Jawa, seperti relasi antara ibu-anak, kak-adik, kakek-cucu. Untuk mengisi jurang yang telah ditinggalkan oleh menurunnya hubungan darah, ludruk mengafirmasi relasi-relasi bukan-darah yang intim, seperti persahabatan dan percintaan.
g.    Komersialisasi
Ludruk, demikian Peacock menerangkan, mendorong masyarakat Jawa untuk memperluas wilayah penggunaan pertukaran uang. Karena ludruk itu sendiri komersial, maka ia membantu proses komersialisasi di kalangan masyarakat Jawa dalam satu hal, yaitu mendorong orang Jawa untuk membeli dan menjual rekreasi.
h.    Birokratisasi
Dalam birokrasi, seperti dikatakan Weber, hubungan pegawai dengan kleinnya hanya dalam kapasitas dinas, dan hubungan pribadi tidak boleh dicampuradukkan. Dagelan-dagelan dalam ludruk terlihat cukup memahami relasi serupa itu, seperti misalnya dalam dialog seorang pegawai birokrasi dengan seorang pembantu rumah tangga. Birokrat berkata: “Saya ke sini untuk menjalankan tugas resmi”. Pembantu merespon: “Saya di sini untuk menjalankan tugas tak resmi”.
i.      Konjugalisasi/Hubungan Suami-isteri
Konjugalisasi yang berlebihan merujuk pada kecenderungan untuk lebih menekankan pada relasi suami-isteri dan kurang menekankan pada hubungan orangtua dan anak.
Ludruk mengidealisasikan hubungan suami isteri yang romantis. Ia juga menyerang simbol rumah tangga yang matrifokal, yaitu rumah tangga yang didominasi oleh perempuan yang cerewet. Ludruk memperlemah landasan kekuasaan sang ibu dan memberikan kesempatan terhadap ayah untuk memiliki posisi yang lebih kuat dalam rumah tangga.
Setelah menerangkan  unsur-unsur modern itu yang terdapat dalam pertunjukan ludruk, Peacock di bagian akhir tulisannya menulis bahwa ludruk adalah tindakan simbolik karena ludruk menunjuk sebuah ragam tindakan yang berbeda dari “tindakan teknis”. Tindakan yang terdapat dalam ludruk diciptakan untuk penciptaan pertunjukan yang indah atau menyenangkan hati dan kepada pengungkapan emosi-emosi, ide-ide moral, atau konsepsi-konsepsi atas realitas ketimbang kepada pencapaian tujuan-tujuan ekonomi, politik, atau sosial yang empiris.
Jadi ludruk merupakan suatu gambaran ideal kehidupan yang sebetulnya tidak nampak dalam kenyataan sehari-hari, atau yang tidak bisa diwujudkan menjadi kenyataan oleh masyarakat kelas bawah sebagai partisipan ludruk. Peacock menyebutnya ludruk seperti mesin sinar X yang membentangkan aspekaspek kehidupan masyarakat Jawa yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. “Ludruk membawa kita menuju diagnosis yang lebih akut atas kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa”, demikian tulis Peacock. Ludruk adalah medium aktif yang mempengaruhi perjalanan sosial masyarakat Jawa.  

3.    Catatan Kritis
Dalam penutup ini saya ingin memberikan beberapa catatan kritis terhadap asumsi-asumsi yang ditarik Peacock dari hasil penelitiannya.
Pertama, saya melihat bahwa Peacock tidak berangkat dari pengertian maju atau kuno dari perspektif masyarakat Jawa. Meskipun dia melakukan pendekatan partisipasi observasi, tapi nuansa etiknya sebagai orang Barat sangat terasa, terutama saat menerapkan konsep modern dari perspektif Levy. Konsep modern memang muncul di Barat pada zaman Renaisance, namun saat ia dipahami oleh budaya tertentu seperti Jawa, maka ia memiliki penengertian yang khas yang sesuai dengan pemahamannya sebagai masyarakat Jawa. Oleh karena itu, ketika ada keadaan atau tindakan maju (modern) yang di satu sisi diterima, namun di sisi lain ditolak, Peacock terkesan menghindari pembahasan bersifat paradoks itu. Misalnya, bahwa hidup bebas itu masuk ke dalam kategori maju, dan oleh karena itu dipuji, namun pada sisi lain masyarakat juga mencela sikap pergaulan bebas walaupun ia berada dalam kategori maju (modern). Menurut saya, semestinya Peacock menambahkan satu klasifikasi skematik lagi, yakni modern-Barat, di samping alus-kasar dan maju kuno. Dalam masyarakat kita telah tumbuh anggapan bahwa menjadi manusia modern tidak mesti menjadi Barat. Barat itu tidak baik, karena ia bertentangan dengan etika hidup manusia Timur.
Kedua, apakah klasifikasi alus-kasar atau maju-kuno digunakan oleh Peacock sebagai kategori oposisional atau skala dari sebuah rentang yang memiliki dua titik ekstrem? Jawabannya: tidak jelas. Pada satu bagian Peacok menjelaskan bahwa ludruk sebetulnya merupakan jenis kesenian kuno jika dibandingkan film bioskop, misalnya. Jadi di sana ia memperlakukan kategori-kategori itu sebagai sebuah skala. Tapi kerap juga ia menggunakannya sebagai oposisi yang saling bertentangan dengan batas yang tegas, ludruk itu kasar, dan wayang kesenian alus.
Di samping itu, Peacock tidak sampai jauh membahas masalah skema klasifikasi ini, terutama skema alus-kasar, sebagai dua hal yang bukan saling meniadakan, namun saling memiliki ketergantungan. Alus-kasar adalah klasifikasi yang tak dapat dipisahkan. Ketika ada alus, maka juga harus ada kasar.Dengan adanya dua hal tersebut, maka harmoni menjadi terjaga. Jika kasar ditiadakan, maka alus menjadi tak ada artinya, begitu pula sebaliknya.
Peacok selalu mensejajarkan antara alus dengan kuno dan maju dengan kasar. Apakah ada kemungkinan pensejajaran lain seperti alus dengan maju atau kasar dengan kuno? Hal itu pun luput dari pembahasan Peacock.
Terakhir, Peacock mengatakan bahwa para pemain memiliki perhatian agar para penonton bisa berempati dengan peran-peran yang dimainkannya. Tampaknya dengan mengungkapkan hal itu Peacock bertolak dari definisi mengenai drama  (tragedi) yang diberikan oleh  Aristoteles (walaupun hal itu tidak jelaskan secara eksplisit), bahwa tujuan drama adalah untuk menumbuhkan rasa kasihan atau takut pada penonton, sehingga tercapai katarsis atau penyucian jiwa di dalam diri penonton tersebut.
Dalam ludruk, untuk mencapai empati itu Peacock menyebutkan satu contoh sebagai bukti, yaitu bahwa isi cerita dari sebuah pertunjukan lebih disesuaikan dengan sentimen-sentimen dan pengalaman sosial dari penonton yang ada di hadapannya. Harapannya dengan melakukan itu, penonton bisa berempati atau merasa terlibat dengan tokoh-tokoh yang menjadi protagonis cerita.
Namun Peacock tidak mengambil yang sebaliknya, mengapa dalam kondisi-kondisi yang serius, misalnya ada penyiksaan seorang anak oleh orangtuanya, tiba-tiba datang pembantu membantu mencegah penyiksaan itu sambil melontarkan dialog-dialog yang menimbulkan tawa di antara para penontonnya? Peristiwa-peristiwa seperti itu sering terjadi dalam pertunjukan-pertunjukan teater rakyat, seperti dalam ludruk, ketoprak atau longser. Menurut Brecht, seorang dramawan Jerman yang terpengaruh teater Cina, dalam teater Timur ada upaya dari para pemain untuk menghindarkan rasa empati timbul dalam diri penonton. Tidak seperti teater Barat yang secara menyajikan ilusi di atas pentas agar para penonton bisa terlibat di dalamnya, teater Timur tidak melakukan teknik ilusi semacam itu. Teater Timur biasanya selalu menghadirkan semacam ganguan, disebut oleh Brecht sebagai efek alienasi, agar penonton menyadari bahwa apa yang terjadi di atas pentas itu bukan hal yang sesungguhnya, tapi hanya sekedar sandiwara alias pura-pura.***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENGARUH REKRUTMEN, SELEKSI DAN PENEMPATAN KERJA TERHADAP KINERJA TENAGA KEPENDIDIKAN (TENDIK) NON-PNS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manajemen sumber daya manusia merupakan satu bidang manajemen yang khusus mempelajari hubunga...