RESENSI BUKU RITUS MODERNISASI
(ASPEK SOSIAL DAN SIMBOLIK TEATER
RAKYAT INDONESIA)
OLEH
NASGITO CANDRA
105330681211
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
NOVEMBER, 2016
Judul : Ritus Modernisasi (Aspek
Sosial dan Simbolik Teater
Rakyat
Indonesia)
Pengarang : James L. Peacock
Penerjemah : Eko Prasetio
(Bagian “Afterword
1987” diterjemahkan oleh Mh Nurul
Huda)
Penerbit : Desantara
Tahun Terbit : Cetakan I September 205
Kota Terbit : Jakarta Selatan
Jumlah Halaman : 310 halaman. Ukuran 15,5 cm x 23,5
cm
1. Pendahuluan
Buku Ritus Modernisasi Aspek
Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia (selanjutnya Ritus)
karya James L. Peacock ini merupakan hasil penelitian penulisnya mengenai
ludruk di Surabaya pada tahun 1960an. Meskipun buku ini dianggap sebagai salah
satu karya yang cukup memadai sebagai contoh penerapan asumsi-asumsi
antropologi simbolik dan interpretatif, namun tak pelak akan menimbulkan suatu
tanda tanya besar mengenai relevansinya di masa kini dengan kehidupan Indonesia
secara umum, dan Surabaya secara khusus. Oleh karena itu, mungkin ada sebagian
orang (pembaca) yang menganggap bahwa upaya penerjemahannya ke dalam bahasa
Indonesia sudah terlambat, karena asumsi-asumsi penulisnya mengenai masyarakat
Indonesia kini tidak valid lagi, mengingat telah terjadinya perubahan-perubahan
yang cukup signifikan dalam segala bidang di republik ini.
Tentu saja anggapan-anggapan serupa
itu tidak terlalu keliru, karena memang demikian kenyataannya, bahwa realitas
bangsa Indonesia kini telah berbeda dibandingkan dengan kondisi di tahun 60an.
Akibat sistem politik yang terbuka, sejak Presiden Soeharto menggantikan
Presiden Soekarno, serta kehidupan dunia yang semakin mengglobal, masyarakat
Indonesia telah menjadi salah satu warga dunia yang tak lagi bisa
mengisolasikan diri. Sekat-sekat geografis, politis, dan juga sosiologis,
dengan demikian, menjadi kurang memiliki arti dalam menjaga mimpi tentang
‘kemurnian’ tradisi. Sikap, gaya, atau pandangan hidup yang semula masih kental
dengan keramah-tamahan Timur, kini nyaris tak lagi berbeda di belahan-belahan
dunia lainnya, karena melalui televisi, internet, atau alat-alat informasi dan
transportasi, semua telah saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya.
“Dunia telah menjadi kampung besar’, demikian ucapan Marshall Mc Luhan.
Akan tetapi, bukan berarti
penerbitan buku Ritus itu tidak lagi memiliki relevansi dengan kehidupan
masyarakat Indonesia, karena beberapa alasan. Pertama, bahwa maju-mundur suatu
bangsa salah satunya ditentukan oleh kesadarannya pada masa lalu, pada sejarahnya.
Suatu bangsa akan stagnan atau ‘berjalan di tempat’ jika tidak belajar pada
kesuksesan atau kegagalan di masa lalunya. Buku karya Peacock ini bisa
dijadikan sebagai dokumen kehidupan masa lalu yang bisa dibaca ulang agar kita
bisa memahami sudah sejauh mana perubahan yang terjadi di negeri ini. Kedua,
bila kita mengikuti asumsi strukturalisme Levi Strauss mengenai struktur luar
dan struktur dalam, kehadiran buku Ritus juga bisa digunakan untuk
memahami strutur dalam bangsa Indonesia yang sebetulnya tidak berubah, walaupun
pada struktur luarnya telah terjadi perubahan-perubahan yang tampak cukup
signifikan. Ketiga, meskipun versi Inggrisnya telah terbit pada tahun
1968, namun karya Peacock ini kurang dikenal atau tidak berbekas di kalangan
peneliti seni Indonesia, dibandingkan dengan Brandon atau Geerzt, misalnya,
padahal penulisnya dianggap sebagai salah satu peletak pendekatan relatif baru
dalam antropologi yang menggoyahkan orientasi pada eksotisme-sakralisme,
sejajar dengan Turner dan Geerzt.
Atas alasan-alasan tersebut di atas,
saya menganggap bahwa penerbitan buku Ritus dalam versi Indonesia di tahun 2005
itu, meskipun memiliki rentang yang cukup lama dengan versi Inggrisnya yang
telah terbit di tahun 1968, namun cukup penting diketahui oleh masyarakat
secara umum, dan masyarakat akademik secara khusus. Dalam
penelitian-penelitian seni karya orang-orang Indonesia yang saya ketahui,
pendekatan Peacock kurang dijadikan sebagai rujukan. Beberapa peneliti, seperti
Ninuk Kleden-Probonegoro yang meneliti Lenong Betawi, atau tulisan saya sendiri
mengenai Jeprut di kota Bandung, memang telah mencoba menggunakan pendekatan
Peacock, meskipun tidak menggunakannya secara penuh; namun secara umum
tampaknya pendekatan simbolik Peacock ini belum pendekatan yang lumrah, padahal
dengan mengunakan pendekatannya itu, menurut hemat saya peneliti akan bisa
menjangkau hal-hal muskil yang nyaris lepas dari perhatian
pendekatan-pendekatan lainnya.
2. Tentang Isi
Buku Ritus
Buku Ritus terdiri dari empat
bagian yang dibagi dalam 16 Bab, ditambah Lampiran, dengan jumlah halaman 310,
fontase book antiqua, ukuran 10, dan spasi single. Meskipun
bahasa terjemahannya cukup baik, tetapi karena kualitas cetakannya tidak
terlalu baik, ditambah hurufnya yang terkesan berdesak-desakkan, maka dalam
membaca buku ini kita harus ekstra perhatian, dan cukup melelahkan. “Medium
is message”, kembali mengutip McLuhan. Jadi, meskipun substansinya cukup
bagus, tapi bila cara menyampaikannya kurang baik, maka pesan itu tidak akan
terlalu baik juga diterima oleh komunikannya.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan
mengelaborasi bagian per bagian dari isi buku Ritus, tapi akan
menjabarkan kesan umum yang saya tampak dari isi buku ini secara keseluruhan.
Hal pertama yang bisa kita tangkap
dari buku ini adalah tujuannya, yaitu berupaya mengeksplorasi hubungan antara
ludruk, sebagai salah satu bentuk teater itu, dengan masyarakat Jawa” (hal. 5).
Bagi pengarangnya ludruk itu “ritus modernisasi”. Maksudnya, ludruk merupakan
tindakan simbolik dari orang Jawa (Surabaya) yang memiliki
konsekuensi-konsekuensi sosial tertentu, yaitu mendorong terjadinya proses
modernisasi.
Frase “Ritus Modernisasi” yang
digunakan Peacock tampaknya sejajar dengan “Ritus-ritus Peralihan” (Rites of
Passage) dari Arnold van Gennep. Menurut van Gennep kehidupan manusia itu
merupakan suatu peralihan dari situasi satu ke situasi lainnya.
Peralihan-peralihan itu dianggapnya sebagai sebuah ritus. Peralihan-peralihan
itu bisa dianggap pula sebagai tindakan-tindakan simbolik yang tampaknya
berbeda dengan struktur kehidupan sehari-hari. Khitanan, perkawinan, atau
upacara penguburan merupakan ritus-ritus yang biasanya melingkupi kehidupan
manusia dalam suatu kebudayaan tertentu. Meskipun ia merupakan bagian dari
kehidupan, tapi maknanya biasanya tidak disamakan dengan persoalan rutin
sehari-hari. Ritus-ritus itu merupakan tindakan simbolik yang memiliki makna
yang lebih mendalam dibandingkan dengan tindakan-tindakan sehari-hari lainnya.
Menurut Peacock, ludruk membantu
orang menetapkan gerak peralihan dari satu situasi ke situasi lainnya, yaitu
dari situasi-situasi tradisional menuju situasi-situasi modern. Dalam kehidupan
sehari-hari, peralihan dari situasi-situasi tradisional menuju situasi-situasi
modern ini memiliki beberapa bentuk, seperti: seseorang meninggalkan daerah
asalnya (tradisional) menuju kota untuk bekerja di paberik (modern); ada
peralihan dari satu ruang yang tradisional (rumah) menuju ruang modern
(kantor); juga peralihan dari satu pemikiran yang kuno ke pemikiran yang
dianggap modern. Ludruk mencakup semua peralihan itu. Dengan demikian, ludruk
dapat membantu memahami gerak-gerak peralihan tersebut, juga sekaligus membantu
orang-orang yang terlibat dalam gerak peralihan tersebut untuk memahami
posisinya.
Dalam memahami fungsi ludruk sebagai
ritus modernisasi, Peacock menggunakan dua klasifikasi simbolik yang selalu
digunakan orang Jawa, yaitu skema alus (halus) dan kasar, yang
dapat disebut sebagai sebuah kosmologi, dan skema maju (progresif) dan kuno
(konservatif), yakni skema klasifikasi yang disebut sebagai sebuah ideologi.
Kedua skema tersebut, meskipun bukan merupakan skema-skema yang penting bagi
partisipan ludruk yang umumnya masyarakat kelas bawah, menurut pandangan
Peacock merupakan skema-skema yang sering digunakan oleh partisipan (para
penonton dan pemain) ludruk tersebut.
Skema alus dan kasar biasanya
digunakan oleh masyarakat kelas bawah Surabaya untuk mempertentangkan antara:
rumah megah dengan rumah kampung, bahasa kromo inggil dengan ngoko,
wayang kulit dengan pertunjukan-pertunjukan rakyat seperti ludruk, gaya bicara
yang halus dengan gaya bicara yang nyerocos, musik gamelan dengan lagu-lagu
rakyat, orang-orang kebudayaan Jawa dengan orang-orang kebudayaan Madura, tahu
rasa malu dengan muka tembok, dan sebagainya. Sedangkan maju dan kuno
dipergunakan untuk mempertentangkan antara: ketiak yang terbuka dengan ketiak
yang tertutup, rambut yang tergerai dengan rambut yang terikat rapi, memakai
bahasa Indonesia dengan memakai bahasa Jawa, memakai celana yang ketat dengan
memakai sarung, film-film bioskop dengan wayang kulit, memperingati hari-hari
nasional dengan perayaan-perayaan hari-hari yang dianggap sakral oleh adat,
terdidik dengan buta huruf, menggunakan bidan dengan menggunakan dukun, dan
sebagainya.
Dalam kesimpulan penelitiannya
Peacock melihat bahwa ludruk itu mengekspresikan simbolisme alus-kasar dan
maju-kuno dalam parikan-parikan, kidungan-kidungan, cerita-cerita,
percakapan-percakapan, dan tarian-tarian. Di samping itu, dalam pandangan
penelitinya skema oposisi ideologi maju-kuno sedang menggeser skema oposisi
kosmologi alus-kasar, karena kosmologi hanya berfungsi dalam masyarakat
tradisional, sementara masyarakat yang ada sudah tidak tradisional lagi. Skema
ideologi maju kuno memberi makni dan legitimasi terhadap proses modernisasi.
Tentang modernisasi, Peacock
bertolak dari definisi yang diuraikan Marion J. Levy, Jr. dalam bukunya yang
berjudul Modernization and Structure of Societies, yang menyebutkan
bahwa ketika masyarakat telah mencapai suatu titik yang disebut modern, maka
dalam kehidupannya terjadi peningkatan spesialisasi unit-unit sosial,
peningkatan etika universal, terjadi perluasan pasar dan media pertukaran,
sentralisasi, birokrasi, adanya peningkatan idealisasi keluarga kecil yang
multilinear, peningkatan kepercayaan pada “rasionalitas”, “keberjarakan”,
“spesifikasi fungsional”, dan “universal” dari relasi-relasi sosial. Meskipun
kecenderungan-kecenderungan modernisasi Levy ini digunakan oleh Peacock dalam
menganalisis ludruk dan masyarakat Jawa, namun ia menggunakan istilah yang
berbeda untuk menyebut “peningkatan idealisasi atas keluarga inti yang
multilinear” menjadi “konjugalisasi”, dan “peningkatan perluasan pasar dan alat
tukar” menjadi “komersialisasi” (hal. 231- 233).
Di bawah ini uraian yang lebih umum
yang diberikan oleh Peacock untuk menandai kecenderungan terjadinya suatu
pergeseran dari masarakat tradisional menuju masyarakat modern dalam
kehidupan orang Jawa, khususnya di Surabaya, seperti yang tercermin dalam
ludruk:
a.
Spesialisasi.
Peran kampung dalam kehidupan para
penduduk semakin menyusut, ini terlihat misalnya dengan menurunnya ritus-ritus
dan simbol-simbol (bersih desa, danyang) sebagai tanda pentingnya kampung atau
desa sebagai unit unit sosial. Orang-orang kampung semakin sering terlibat
dalam unit-unit spesialis ekstra-kampung, dan kurang terlibat di kampung.
Ludruk awalnya hanya
menggambarkan karakter-karakter orang kampung, namun pada saat penelitian
dilakukan ludruk semakin berkonsentrasi untuk mengidealkan masyarakat ekstra-kampung,
dan menjadikan masyarakat kampung sebagai bahan tertawaan. Yang menarik, adegan
akhir pertunjukan ludruk biasanya menggambarkan situasi-situasi ideal, dan tak
pernah digambarkan berlangsung di kampung. Singkat kata, dengan caranya yang beragam,
ludruk mendorong para partisipannya, atau menstimulus anak-anak mereka, untuk
kurang terlibat dalam kampung dan keluarga, namun dalam unit-unit tertentu
dalam masyarakat Surabaya.
b.
Sentralisasi.
Menurunnya otonomi kampung dan
semakin menyatunya kampung dengan pemerintah kota dan negara. Ritus-ritus yang
berskala nasional, seperti peringatan kemerdekaan) dan simbol-simbol
kota-bangsa-kampung menggantikan ritus dan simbol yang sepenuhnya bersifat
kampung (bersih desa, slametan, danyang).
Saat penduduk kampung sibuk di luar
kampung, mereka sering bertemu dengan etnik, religi dan faksi politik
yang heterogen. Jika slametan merupakan ritus untuk mengharmoniskan masyarakat
yang homogen, maka ludruk merupakan ritus yang menggambarkan keharmonisan
keberagaman orang dengan latar belakang agama, etnik, politik yang berbeda
dalam pengalaman kehidupan ekstra-kampung. Di samping itu, ludruk melatih para
partisipannya untuk bergerak dalam sebuah masyarakat yang berskala besar,
berjarak, dan tersentralisasi, seperti berjual beli dengan orang asing,
berempati dengan para pimpinan politik yang tidak dikenal secara pribadi, dan
sebagainya.
c.
Universalisasi.
Proses universalisme merupakan proses
meningkatnya penekanan pada apa yang dikerjakan dan pada cara menilai orang berdasarkan
pada apa yang mereka bisa lakukan ketimbang berdasarkan pada siapa mereka
(yakni asal-usul kelas mereka). Jika dibandingkan dengan slametan yang
memberikan pengalaman harmoni dengan orang-orang, ludruk justru memberikan
pengalaman mengenai orang-orang yang berusaha secara aktif dan berhasil, dan
mencapai status yang lebih tinggi bagi diri sendiri.
Dalam mendukung universalisme,
ludruk secara tidak langsung mempengaruhi etika orang-orang kalangan atas yang
mengontrol masyarakat Jawa karena ludruk disaksikan oleh kalangan bawah,
meskipun beberapa kalangan atas ada juga yang mendengarkan ludruk melalui
radio.
d.
Rasionalisasi
Tindakan rasional merupakan tindakan
yang memperlihatkan suatu perbuatan untuk mencapai tujuan yang tertentu dengan
cara yang tak tepat, bukan didasarkan klaim bahwa tindakan-tindakan itu telah
sesuai dengan tradisi. Ludruk menjustifikasi tindakan-tindakan maju lebih
sering secara rasional ketimbang tindakan-tindakan maju.
Ada penurunan nilai-nilai alus saat
nilai-nilai rasional meningkat. Tindakan alus dinilai berdasarkan tindakan itu
dalam dirinya sendiri, seperti keindahannya, aura keagamaan, atau harmoni
sosial yang melingkupinya. Sedangkan tindakan rasional dinilai berdasarkan
penggunaannya sebagai suatu cara untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam ludruk,
ada gerakan menuju “pelepasan dunia magis”. Melalui pertunjukan dan penataan
panggungnya, ludruk mengungkapkan berkurangnya keyakinan akan kekuatan magis
sebagai sesuatu yang melingkupi objek.
e.
Spesifikasi
Ketika orang-orang bergerak dari
relasi-relasi penduduk desa ke relasi-relasi di antara penduduk kampung
perkotaan, maka mereka akan semakin bergerak ke arah relasi fungsi yang
spesifik.
Ludruk memperlihatkan suatu
perubahan fungsi-fungsi dari yang rumit yang diemban oleh seorang penduduk,
menjadi fungsi-fungsi yang lebih sederhana. Bila penduduk desa memiliki fungsi
yang begitu banyak, seperti harus membantu tetangga, ikut upacara atau ritual
yang dilaksanakan di kampung, membantu tetangga membangun rumah, maka ludruk
memberikan suatu gambaran tentang fungsi yang spesifik yang diemban oleh
seorang penduduk dari suatu masyarakat. Ludruk menggambarkan relasi-relasi yang
sederhana, seperti penggambaran penjual-pembeli, pengutang-yang berhutang,
majikan-bawahan, yang memiliki kewajiban-kewajiban yang dangkal dan spesifik.
f.
Keberjarakan
Dengan keberjarakan dimaksudkan
bahwa relasi sosial dalam suatu masyarakat modern itu meminimalkan gambaran
emosional dan kontak atau keterlibatan personal.
Menurut Peacock ludruk meremehkan
beberapa relasi masyarakat yang semula begitu nintim dalam masyarakat Jawa,
seperti relasi antara ibu-anak, kak-adik, kakek-cucu. Untuk mengisi jurang yang
telah ditinggalkan oleh menurunnya hubungan darah, ludruk mengafirmasi
relasi-relasi bukan-darah yang intim, seperti persahabatan dan percintaan.
g.
Komersialisasi
Ludruk, demikian Peacock
menerangkan, mendorong masyarakat Jawa untuk memperluas wilayah penggunaan
pertukaran uang. Karena ludruk itu sendiri komersial, maka ia membantu proses
komersialisasi di kalangan masyarakat Jawa dalam satu hal, yaitu mendorong
orang Jawa untuk membeli dan menjual rekreasi.
h.
Birokratisasi
Dalam birokrasi, seperti dikatakan
Weber, hubungan pegawai dengan kleinnya hanya dalam kapasitas dinas, dan
hubungan pribadi tidak boleh dicampuradukkan. Dagelan-dagelan dalam ludruk
terlihat cukup memahami relasi serupa itu, seperti misalnya dalam dialog
seorang pegawai birokrasi dengan seorang pembantu rumah tangga. Birokrat
berkata: “Saya ke sini untuk menjalankan tugas resmi”. Pembantu merespon: “Saya
di sini untuk menjalankan tugas tak resmi”.
i.
Konjugalisasi/Hubungan
Suami-isteri
Konjugalisasi yang berlebihan
merujuk pada kecenderungan untuk lebih menekankan pada relasi suami-isteri dan
kurang menekankan pada hubungan orangtua dan anak.
Ludruk mengidealisasikan hubungan
suami isteri yang romantis. Ia juga menyerang simbol rumah tangga yang
matrifokal, yaitu rumah tangga yang didominasi oleh perempuan yang cerewet.
Ludruk memperlemah landasan kekuasaan sang ibu dan memberikan kesempatan
terhadap ayah untuk memiliki posisi yang lebih kuat dalam rumah tangga.
Setelah menerangkan
unsur-unsur modern itu yang terdapat dalam pertunjukan ludruk, Peacock di
bagian akhir tulisannya menulis bahwa ludruk adalah tindakan simbolik karena
ludruk menunjuk sebuah ragam tindakan yang berbeda dari “tindakan teknis”.
Tindakan yang terdapat dalam ludruk diciptakan untuk penciptaan pertunjukan
yang indah atau menyenangkan hati dan kepada pengungkapan emosi-emosi, ide-ide
moral, atau konsepsi-konsepsi atas realitas ketimbang kepada pencapaian
tujuan-tujuan ekonomi, politik, atau sosial yang empiris.
Jadi ludruk merupakan suatu gambaran
ideal kehidupan yang sebetulnya tidak nampak dalam kenyataan sehari-hari, atau
yang tidak bisa diwujudkan menjadi kenyataan oleh masyarakat kelas bawah
sebagai partisipan ludruk. Peacock menyebutnya ludruk seperti mesin sinar X
yang membentangkan aspekaspek kehidupan masyarakat Jawa yang tidak bisa dilihat
dengan mata telanjang. “Ludruk membawa kita menuju diagnosis yang lebih akut
atas kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa”, demikian tulis Peacock. Ludruk
adalah medium aktif yang mempengaruhi perjalanan sosial masyarakat
Jawa.
3. Catatan
Kritis
Dalam
penutup ini saya ingin memberikan beberapa catatan kritis terhadap
asumsi-asumsi yang ditarik Peacock dari hasil penelitiannya.
Pertama,
saya melihat bahwa Peacock tidak berangkat dari pengertian maju atau kuno dari
perspektif masyarakat Jawa. Meskipun dia melakukan pendekatan partisipasi
observasi, tapi nuansa etiknya sebagai orang Barat sangat terasa, terutama saat
menerapkan konsep modern dari perspektif Levy. Konsep modern memang muncul di
Barat pada zaman Renaisance, namun saat ia dipahami oleh budaya tertentu
seperti Jawa, maka ia memiliki penengertian yang khas yang sesuai dengan
pemahamannya sebagai masyarakat Jawa. Oleh karena itu, ketika ada keadaan atau
tindakan maju (modern) yang di satu sisi diterima, namun di sisi lain ditolak,
Peacock terkesan menghindari pembahasan bersifat paradoks itu. Misalnya, bahwa
hidup bebas itu masuk ke dalam kategori maju, dan oleh karena itu dipuji, namun
pada sisi lain masyarakat juga mencela sikap pergaulan bebas walaupun ia berada
dalam kategori maju (modern). Menurut saya, semestinya Peacock menambahkan satu
klasifikasi skematik lagi, yakni modern-Barat, di samping alus-kasar dan maju kuno.
Dalam masyarakat kita telah tumbuh anggapan bahwa menjadi manusia modern tidak
mesti menjadi Barat. Barat itu tidak baik, karena ia bertentangan dengan etika
hidup manusia Timur.
Kedua,
apakah klasifikasi alus-kasar atau maju-kuno digunakan oleh Peacock sebagai
kategori oposisional atau skala dari sebuah rentang yang memiliki dua titik
ekstrem? Jawabannya: tidak jelas. Pada satu bagian Peacok menjelaskan bahwa
ludruk sebetulnya merupakan jenis kesenian kuno jika dibandingkan film bioskop,
misalnya. Jadi di sana ia memperlakukan kategori-kategori itu sebagai sebuah
skala. Tapi kerap juga ia menggunakannya sebagai oposisi yang saling
bertentangan dengan batas yang tegas, ludruk itu kasar, dan wayang kesenian
alus.
Di samping
itu, Peacock tidak sampai jauh membahas masalah skema klasifikasi ini, terutama
skema alus-kasar, sebagai dua hal yang bukan saling meniadakan, namun saling
memiliki ketergantungan. Alus-kasar adalah klasifikasi yang tak dapat
dipisahkan. Ketika ada alus, maka juga harus ada kasar.Dengan adanya dua hal
tersebut, maka harmoni menjadi terjaga. Jika kasar ditiadakan, maka alus
menjadi tak ada artinya, begitu pula sebaliknya.
Peacok
selalu mensejajarkan antara alus dengan kuno dan maju dengan kasar. Apakah ada
kemungkinan pensejajaran lain seperti alus dengan maju atau kasar dengan kuno?
Hal itu pun luput dari pembahasan Peacock.
Terakhir,
Peacock mengatakan bahwa para pemain memiliki perhatian agar para penonton bisa
berempati dengan peran-peran yang dimainkannya. Tampaknya dengan mengungkapkan
hal itu Peacock bertolak dari definisi mengenai drama (tragedi) yang
diberikan oleh Aristoteles (walaupun hal itu tidak jelaskan secara
eksplisit), bahwa tujuan drama adalah untuk menumbuhkan rasa kasihan atau takut
pada penonton, sehingga tercapai katarsis atau penyucian jiwa di dalam diri
penonton tersebut.
Dalam
ludruk, untuk mencapai empati itu Peacock menyebutkan satu contoh sebagai
bukti, yaitu bahwa isi cerita dari sebuah pertunjukan lebih disesuaikan dengan
sentimen-sentimen dan pengalaman sosial dari penonton yang ada di hadapannya.
Harapannya dengan melakukan itu, penonton bisa berempati atau merasa terlibat
dengan tokoh-tokoh yang menjadi protagonis cerita.
Namun
Peacock tidak mengambil yang sebaliknya, mengapa dalam kondisi-kondisi yang serius,
misalnya ada penyiksaan seorang anak oleh orangtuanya, tiba-tiba datang
pembantu membantu mencegah penyiksaan itu sambil melontarkan dialog-dialog yang
menimbulkan tawa di antara para penontonnya? Peristiwa-peristiwa seperti itu
sering terjadi dalam pertunjukan-pertunjukan teater rakyat, seperti dalam
ludruk, ketoprak atau longser. Menurut Brecht, seorang dramawan Jerman yang
terpengaruh teater Cina, dalam teater Timur ada upaya dari para pemain untuk
menghindarkan rasa empati timbul dalam diri penonton. Tidak seperti teater
Barat yang secara menyajikan ilusi di atas pentas agar para penonton bisa
terlibat di dalamnya, teater Timur tidak melakukan teknik ilusi semacam itu.
Teater Timur biasanya selalu menghadirkan semacam ganguan, disebut oleh Brecht
sebagai efek alienasi, agar penonton menyadari bahwa apa yang terjadi di atas
pentas itu bukan hal yang sesungguhnya, tapi hanya sekedar sandiwara alias
pura-pura.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar