BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa
ini, tujuan pembangunan kesehatan dititikberatkan pada upaya peningkatan
kesehatan termasuk kesehatan penyakit HIV/AIDS yang banyak dikeluhkan
masyarakat. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang system kekebalan tubuh. Perjalanan
infeksi HIV di dalam tubuh menyerang sel Cluster of Differentiation 4
(CD4) sehingga terjadi penurunan sistem pertahanan tubuh. Replikasi virus yang
terus menerus mengakibatkan semakin berat kerusakan sistem kekebalan tubuh dan
semakin rentan terhadap infeksi oportunistik (IO) sehingga akan berakhir dengan
kematian (Bruner & Suddarth, 2010:16).
Accuired
Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan
sekumpulan gejala yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia,
yang disebabkan oleh HIV. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV, dimana
perjalanan HIV akan berlanjut menjadi AIDS membutuhkan waktu sekitar 10 sampai
13 tahun (Bruner & Suddarth, 2010:16).
|
Berdasarkan
data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes
RI 17 Oktober 2014, yang dilaporkan sejak pertama kali ditemukan
tahun 1987 sampai dengan 30 September 2014,
jumlah kumulatif pengidap HIV sebanyak 150.296 orang dan penderita AIDS
sebanyak 55.799 orang (PP & PL Kemenke, 2014). Dalam pandangan masyarakat,
penyakit ini dianggap sebagai penyakit yang kotor, karena orang yang terinveksi
HIV/AIDS biasanya adalah para pemakai narkotika atau pekerja seks komersial.
Data
dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Makassar, jumlah penderita HIV dan
AIDS untuk Provinsi Sulawesi Selatan sampai dengan Juni 2013 sebanyak 6.748
kasus dengan jumlah HIV sebanyak 4482 kasus dan AIDS sebanyak 2.266 kasus,
sedangkan Kota Makassar sebanyak 5.527 kasus dengan jumlah HIV sebanyak 3.854
kasus dan AIDS sebanyak 1.673 kasus. HIV dan AIDS tidak hanya mempengaruhi
kesejahteraan fisik seorang individu tetapi juga kualitas hidup secara
keseluruhan mereka yang terinfeksi (Komisi Penanggulangan AIDS, 2013).
HIV-AIDS
menjadi masalah global dan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Program pengendalian HIV-AIDS di Indonesia sejalan dengan mempunyai
tujuan menurunkan infeksi baru HIV, menurunkan diskriminasi dan menurunkan
kematian karena AIDS, yang di kalangan internasional dikenal dengan Three
Zeros, yaitu Zero New HIV Infections, Zero Discrimination and Zero AIDS
Related Death.
Tantangan
pelaksanaan Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan di masa
yang akan datang semakin berat, keberhasilannya ditentukan oleh kerjasama
berbagai pihak, Pemerintah Pusat, Daerah, LSM, Swasta, Peran Serta Masyarakat
serta pihak-pihak terkait lainnya.
Berbagai kebijakan dan program penanggulangan HIV/AIDS telah
dilakukan namun, penyakit yang mematikan itu terus berkembang. Untuk itu
memerlukan perhatian semua pihak, Salah satu cara
untuk mengatasinya adalah dengan peningkatkan pemahaman mengenai HIV/AIDS
dikalangan masyarakat termasuk mereka yang bekerja di unit-unit pelayanan
kesehatan salah satunya adalah peran petugas kesehatan di Puskesmas.
Petugas
kesehatan memegang peranan penting dalam pengendalian penyakit HIV/AIDS ini.
Peran seorang petugas kesehatan Puskesmas sebagai penyuluhan kesehatan sangat
besar pengaruhnya untuk mengurangi gejala penyakit HIV/AIDS melalui penyuluhan.
Untuk itu sebagai sebuah organisasi, Puskesmas dituntut mampu menyelengarakan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan memanfaatkan semua sumber daya
yang ada secara optimal, efesien, dan efektif dengan harapan agar pelayanan
yang diberikan bias memenuhi kebutuhan masyarakat.
Standar
Pelayanan Minimal (SPM) adalah standar dengan batas-batas tertentu untuk mengukur
kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan
dasar kepada masyarakat, mencakup jenis pelayanan, indikator dan nilai.
Prinsip-prinsip SPM adalah: menjamin akses dan kualitas pelayanan dasar kepada
masyarakat, diperlakukan untuk seluruh daerah Kabupaten atau kota, merupakan
indikator kinerja, bersifat dinamis, dan ditetapkan dalam rangka penyelenggaraan
pelayanan dasar pada kewenangan kewajiban. Keputusan Menteri Kesehatan RI No
1457/ Menkes/ SK/ X/ 2004 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang
Kesehatan Kabupaten Kota. Prinsip-prinsip SPM adalah: menjamin akses dan
kualitas pelayanan dasar kepada masyarakat, diperlakukan untuk seluruh daerah
Kabupaten atau kota, merupakan indikator kinerja, bersifat dinamis, dan
ditetapkan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan dasar pada kewenangan
kewajiban.
Kriteria
menetapkan Kewenangan Wajib bidang kesehatan adalah : merupakan pelayanan, prioritas
tinggi karena melindungi hak-hak masyarakat,melindungi kepentingan nasional,merupakan
komitmen nasional dan merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan.,terukur,dan
dilakukan terus menerus. Menkes RI Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan
Masyarakat, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 128/Menkes/SK/2004 Jakarta
2004. Pemerintah menentukan SPM : secara jelas dan konkrit,sesederhana mungkin,tidak
terlalu banyak dan mudah diukur serta untuk sebagai pedoman oleh setiap unit organisasi
yang melaksanakan kewenangan daerah. Standar Pelayanan Minimal Promosi Kesehatan
yang merupakan acuan Kabupaten Kota adalah Rumah Tangga Sehat (65%), ASI Eklusif
(80%) Desa dengan program garam beryodium (90%) dan Posyandu Purnama (40%) .
Pemerintah Kota Makassar telah menetapkan Standar Pelayanan Minimal bidang
kesehatan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
828/Menkes/SK/IX/2008 dengan harapan agar puskesmas sebagai Unit Pelaksana.
Tehnis
(UPT) dari Dinas Kesehatan dapat meningkatkan kualitas program dan kegiatan tehnis
agar dapat lebih terarah dan terpadu disamping juga pembenahan manajemen dan penyediaan
pendanaan yang memadai dalam mendukung terlaksananya program kegiatan tersebut.
Dinkes Kota Makassar 2009.
Berdasarkan
pencapaian Program Pomosi Kesehatan di Dinas Kesehatan Kota Makassar pencapaian
target program belum maksimal, karena Standar Pelayanan Maksinal (SPM) yang ditargetkan
oleh Dinas Kesehatan Kota belum terpenuhi, Capaian tahun 2010 kegiatan kegiatan
PHBS 40%, ASI Ekslusif 56 %, Desa dengan program garam beryodium 75% posyandu
purnama 25%. Keberhasilan program promosi kesehatan tergantung dari kinerja
petugas promosi kesehatan dalam melaksanakan peran dan fungsinya secara
profesional. Selama ini petugas promosi kesehatan hanyalah sebatas penyuluh
kesehatan yang bertugas memberikan informasi. Padahal seorang petugas promosi kesehatan
bukan hanya memberikan informasi tetapi dapat berperan sebagai pendidik, penjaja
(agen perubahan), pendamping, penasehat, dan melakukan advokasi. Hubungan yang erat antara petugas pelayanan
kesehatan dan masyarakat sangat penting dan harus merupakan proses dua arah.
Petugas kesehatan harus tanggap terhadap kebutuhan masyarakat yang mereka
layani.
Profesionalisme
kinerja petugas Promosi kesehatan dipengaruhi oleh pendidikan dan pelatihan
yang pernah diikuti yaitu untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab. Pelatihan yang diterima selama ini
hanya 1 (satu) kali, tetapi jarang dilakukan monitoring dan evaluasi program pelatihan
yang mereka lakukan, sehingga memungkinkan kurangnya kemampuan petugas dalam
mengaplikasikan program promosi kesehatan sebagaimana yang diharapkan. Kinerja suatu
organisasi tidak hanya dipengaruhi oleh sumber daya manusia didalamnya, tetapi
juga oleh sumber daya lainnya seperti dana, bahan, peralatan, teknologi, dan
mekanisme kerja yang berlangsung dalam organisasi.
Banyak
faktor yang mempengaruhi kinerja seorang petugas kesehatan dalam mencapai keberhasilan
suatu program. Menurut Gibson ada 3 faktor yang berpengaruh terhadap kinerja seseorang
antara lain : Faktor individu: kemampuan dan keterampilan ( intelektual dan fisik),
pengalaman kerja, latar belakang keluarga, tingkat sosial ekonomi, dan
demografi yaitu ; Umur, jenis kelamin, etnis ras, masa jabatan. Faktor
psikologis: persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi dan kepuasan kerja. Faktor
organisasi : struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem
penghargaan (reward system).
Kendala
yang dihadapi petugas penyuluhan kesehatan adalah masih terbatasnya sarana,
prasarana dan kurangnya informasi kesehatan di daerah. Sehingga kegiatan
penyuluhan kesehatan masyarakat Puskesmas seperti pameran, pemutaran film,
penyuluhan melalui media tradisional dan kampanye tidak bias dilaksanakan
secara optimal, sedangkan kegiatan lain yang sarana dan prasarana tersedia
seperti penyuluhan kelompok, siaran keliling, pembuatan poster, penyuluhan
melalui gedung bioskop, radio spot dan pemasangan sepandunk dapat dilaksanakan
sesuai dengan program yang direncanakan.
Adanya
penurunan strata pada beberapa Puskesmas, kemungkinan disebabkan masih adanya
pola bekerja berdasarkan proyek dan kurangnya keterpaduan lintas program dimana
setiap program bekerja secara sendiri-sendiri. Walaupun di dalam setiap program
pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan masyarakat selalu berperan, sehingga
hampir setiap petugas kesehatan, apapun fungsi dan tugasnya, terutama yang
harus menangani langsung pelayanan kesehatan kepada masyarakat, harus merangkap
juga sebagai pendidik atau penyuluhan kesehatan. Sehingga banyak petugas
kesehatan masyarakat yang bekerja sekedarnya tanpa mengikuti prosedur yang ada
(Budioro B, 2000). Hal ini memungkinkan disebabkan oleh karakteristik petugas
PKM Puskesmas sendiri, sehingga hasilnya kurang optimal.
Salah
satu solusi bagi petugas penyuluhan kesehatan, sebaiknya sebelum ke masyarakat
seorang petugas kesehatan selain mendapatkan informasi tentang masalah-masalah
kesehatan, perawatan, pencegahan dan penanggulangan dari petugas kesehatan,
juga harus mandapatkan informasi tentang bagaimana penyuluhan itu dilakukan
supaya informasi yang disampaikan dapat diterima oleh masyarakat.
Hasil
pendahuluan yang dilakuakan peneliti memperlihatakan bahwa terdapat beberapa
hal yang berhubungan dengan praktek petugas kesehatan dalam menjalankan
tugasnya, yaitu tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan serta sikap terhadap
kegiatan penyuluhan, pengakuan dari pimpinan, hubungan antar rekan kurang
harmonis karena belum selaras/terpadu dalam programnya karena masing-masing
program masih bekerja sendiri-sendiri, kurangnya pelatihan petugas dalam
penyuluhan serta kurangnya pengawasan pimpinan bagi peugas dalam melakukan
kegiatan penyuluhan yang sering menyesuaikan kegiatan di masyarakat.
Berdasarkan
studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Mangasa Kecamatan Tamalate Kota
Makassar di temukan masyarakat yang mengalami penyakita HIV/AIDS pada tahun
2013 sebanyak 2 orang, sedangkan pada tahun 2014 sebanyak 1orang dan tahun 2015
belum ditemukan masyarakat yang mengalmi penyakit HIV/AIDS.
Berdasarkan
uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“ Peran Petugas Penyuluhan Terhadap Pengendalian Penyakit HIV/AIDS di Puskesmas
Mangasa Kota Makassar ”.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah tingkat
pengetahuan petugas penyuluhan berpengaruh terhadap pengendalian penyakit
HIV/AIDS pada masyarakat di Puskesmas Mangasa Kota Makassar?
2.
Apakah tingkat
pendidikan petugas penyuluhan berpengaruh terhadap pengendalian penyakit
HIV/AIDS pada masyarakat di Puskesmas Mangasa Kota Makassar?
3.
Apakah pelatihan
petugas penyuluhan berpengaruh terhadap pengendalian penyakit HIV/AIDS pada
masyarakat di Puskesmas Mangasa Kota Makassar?
C. Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Umum
Untuk
mengetahui peran petugas penyuluhan berpengaruh terhadap pengendalian penyakit
HIV/AIDS pada masyarakat di Puskesmas Mangasa Kota Makassar
2.
Tujuan Khusus
a.
Untuk mengetahui
tingkat pengetahuan petugas penyuluhan berpengaruh terhadap pengendalian penyakit
HIV/AIDS pada masyarakat di Puskesmas Mangasa Kota Makassar.
b.
Untuk mengetahui
tingkat pendidikan petugas penyuluhan berpengaruh terhadap pengendalian
penyakit HIV/AIDS pada masyarakat di Puskesmas Mangasa Kota Makassar.
c.
Untuk mengetahui peran
pelatihan petugas penyuluhan berpengaruh terhadap pengendalian penyakit
HIV/AIDS pada masyarakat di Puskesmas Mangasa Kota Makassar.
D. Manfaat Penelitian
1.
Sebagai bahan masukan
data kinerja petugas penyuluhan terhadap pengendalian penyakit HIV/AIDS pada
masyarakat di Puskesmas Mangasa Kota Makassar.
2.
Sebagai bahan masukan
bagi perencana petugas kesehatan di Puskesmas Mangasa Kota Makassar.
3.
Sebagai bahan masukan
bagi petugas penyuluhan kesehatan di Puskesmas untuk meningkatkan kinerja.
4.
Sebagai bahan masukan bagi
masyarakat di Puskesmas Mangasa Kota Makassar tentang pengendalian penyakit
HIV/AIDS.
5.
Sebagai referensi
peneliti lain untuk dapat melakukan peneliti lebih lanjut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar