BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun
1992 tentang kesehatan disebutkan tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Selanjutnya didalam
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) disebutkan bahwa tujuan pembangunan jangka
panjang bidang kesehatan diarahkan agar masyarakat mampu mendorong dirinya
sendiri dalam bidang kesehatan.
Menurut teori Blum mengatakan bahwa derajat
kesehatan suatu masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: keturunan,
pelayanan kesehatan, perilaku dan lingkungan. Dan yang paling besar pengarunya
adalah faktor lingkungan dimana sangat banyak penyakit yang diakibatkan oleh
lingkungan yang buruk baik berupa infeksi yaitu: diare, thypus, kholera maupun
penyakit lain yang berbasis lingkungan (Soekidjo, 1997).
Upaya dibidang sanitasi dan kesehatan
lingkungan memegang peranan yang sangat besar dalam rangka mencapai tujuan
pembangunan sarana dan prasarana kesehatan lingkungan. Lingkungan yang sehat
yang diharapkan adalah lingkungan yang
kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat,
yaitu lingkungan yang bebas polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan
yang memadai, perumahan dan pemukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang
bewawasan kesehatan serta terwujudnya kehidupan masyarakat yang saling
tolong-menolong dalam memelihara nilai-nilai budaya bangsa, sedangkan perilaku
sehat adalah perilaku proaktif
masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah
terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berpartisipasi
aktif dalam gerakan kesehatan.
Pembangunan yang berwawasan
kesehatan, mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat, memelihara dan
meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau, serta
memelihara dan meningkatkan kesehatan induvidu, keluarga, masyarakat serta
lingkungannya. Dari uraian diatas, maka pada tahun 2010 penduduk Indonesia
baik didesa maupun dikota diharapkan telah memiliki dan menggunakan jamban
keluarga.
Untuk mewujudkan Indonesia sehat faktor lingkungan
merupakan faktor penentu karena kualitas lingkungan yang sehat adalah keadaan
lingkungan yang bebas dari resiko yang membahayakan kesehatan dan keselamatan kehidupan manusia. Salah satu
upaya untuk meingkatkan derajat kesehatan masyarakat adalah adanya sarana
kesehatan lingkungan yang memenuhi syarat kesehatan antara lain tersedianya
jamban keluarga (Junaidi Herman, 2002).
Sekitar 30% dari 60.000 desa di Indonesia
belum bersih di sektor sanitasinya karena masyarakatnya masih melakukan
aktifitas BAB (buang air besar) disembarang tempat seperti diselokan, kebun
ataupun disungai-sungai. Indonesia
masuk kategori yang terburuk di Asia terkait dengan permasalahan tersebut,
pemerintah Indonesia
sebenarnya telah mengupayakan sejumlah program agar masyarakat bisa melakukan
BAB-nya itu ditempat yang lebih bersih seperti dijamban (Profil Dinkes 2007).
Sebanyak 40% atau 320.000 rumah
tangga dari 800.000 rumah tangga di Nusa Tenggara Timur tidak memiliki jamban
keluarga. Kalaupun ada, kondisininya tidak memenuhi standar kesehatan. Sebagian
besar jamban dibangun secara sederhana dengan bahan dari kayu atau bambu, tidak
di semen, kedalaman tangki kotoran hanya 1-1,5 meter, tidak berpintu, tampa
air, di biarkan terbuka sehingga mudah dihinggapi lalat dan serangga lainnya.
Banyak diantara jamban keluarga dibangun berdekatan dengan sumur yang selama
ini dikonsumsi rumah tangga bersangkutan. Penampung jamban dapat merembes sampai
ke dasar sumur sehingga air sumur itupun terkontaminasi berbagai kotoran dan
bakteri. Keterbatasan air menyebabkan jamban-jamban tidak terpelihara dengan
baik, sering pula tidak ada air bersih sehinga pemilik jamban memilih membuang
hajat dihutan dan sungai. Sosialisasi untuk mengubah budaya dan perilaku
masyarakat dalam menggunakan jamban perlu ada. Berbagai benda seperti sabut
kelapa, pakaian bekas, Koran bekas, tisu, batu, dan potongan kayu, sering kali
dibuang kedalam lubang jamban. Ada
yang sengaja membuang hajat di luar lubang jamban sehingga mengganggu orang
lain yang ingin menggunakan jamban (Profil Dinkes, 2007).
Berdasarkan data yang diperoleh dari
SP2TP Puskesmas Mauponggo tercatat bahwa sebanyak 210 kepala keluarga (Kk) yang
ada di desa Aewoe, hanya terdapat 99 (47%) Kk yang mempunyai jamban keluarga
itupun semuanya tidak memenuhi syarat atau standar kesehatan.
Bertitik tolak dari permasalahan yang
telah diuraikan diatas, maka peneliti memiliki motifasi untuk melakukan
penelitian mengenai kepemilikan jamban keluarga dengan batasannya mengenai “Hubungan Karakteristik Kepala Keluarga Dengan
Kepemilikan Jamban Keluarga Di Desa Aewoe Kecamatan Mauponggo Kabupaten Nagekeo
Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2008”.
- Batasan Masalah
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi
rendahnya tingkat kepemilikan jamban keluarga oleh masyarakat khususnya di Desa
Aewoe Kecamatan Mauponggo Kabupaten Nagekeo, maka penulis membatasi masalah
pada tingakat pendidikan, pengetahuan, pendapatan dan sosial ekonomi masyarakat.
- Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada batasan
masalah diatas, maka peneliti dapat merumuskan masalah yang akan ditelti
sebagai berikut: “Bagaimana hubungan karakteristik (Pendidikan, pengetahuan,
Pendapatan, Sosial Ekonomi) kepala keluarga dengan kepemilikan jamban keluarga
di desa Aewoe Kecamatan Mauponggo Kabupaten Nagekeo Propinsi Nusa Tenggara
Timur Tahun 2008”?
- Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan karakteristik kepala keluarga
dengan kepemilikan jamban keluarga di Desa Aewoe Kecamatan Mauponggo Kabupaten
Nagekeo Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2008.
2.
Tujuan Khusus
a.
Untuk mengetahui hubungan
pendidikan kepala keluarga dengan kepemilikan jamban keluarga di Desa Aewoe
Kecamatan Mauponggo Kabupaten Nagekeo Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2008.
b.
Untuk mengetahui hubungan
pengetahuan kepala keluarga dengan kepemilikan jamban keluarga di Desa Aewoe
Kecamatan Mauponggo Kabupaten Nagekeo Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2008.
c.
Untuk mengetahui hubungan
pendapatan kepala keluarga dengan kepemilikan jamban keluarga di Desa Aewoe
Kecamatan Mauponggo Kabupaten Nagekeo Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2008.
d.
Untuk mengetahui hubungan
sosial ekonomi kepala keluarga dengan kepemilikan jamban keluarga di Desa Aewoe
Kecamatan Mauponggo Kabupaten Nagekeo Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2008.
- Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Institusi
Sebagai bahan
masukan dan pertimbangan bagi instansi terkait khususnya kepala desa dan kepala
Puskesmas demi mewujudkan derajat kesehatan yang optimal tentang kepemilikan
jamban keluarga yang memenuhi syarat kesehatan
2.
Manfaat Ilmiah
Sebagai sumbangsih
ilmiah yang diharapkan dapat bermanfaat dan sumber informasi bagi peneliti
selanjutnya yang ingin mengungkapkan masalah kepemilikan jamban keluaraga.
3.
Manfaat Praktis
Bagi peneliti sendiri merupakan pengalaman yang sangat berharga dalam
meneliti tentang hubungan karakteristik kepala keluarga dengan kepemilikan
jamban keluarga di Desa Aewoe Kecamatan Mauponggo Kabupaten Nagekeo Propinsi
Nusa Tenggara Timur Tahun 2008.
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A.
Keadaan Geografi
Desa Aewoe adalah salah satu desa di
ujung barat kecamatan Mauponggo dengan luas wilayah 298 Ha/2,98 km dan
batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Utara : Desa Bela
Sebelah Selatan : Laut Sawu
Sebelah Timur : Desa Wolokisa
Sebelah Barat : Desa Kezewea
1.
Mata Pencaharian
Sebagian besar penduduka desa Aewoe,
bermata pencaharian sebagai petani dan sebagian kecil adalah nelayan dan
wiraswasta.
2.
Agama
Agama yang paling banyak diyakini
oleh penduduk desa Aewoe adalah agama Katolik dan ada beberapa penganut agama
Islam.
B.
Sarana dan Prasarana
1.
Prasarana Peribadatan
Terdapat gereja satu buah dan mesjid satu buah.
2.
Prasarana Pendidikan
Terdapat satu buah Sekolah dasar.
3.
Prasarana Kesehatan
Terdapat satu buah posyandu dan satu buah puskesmas
pembantu.
Kk homon bantuan nya
BalasHapus