I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak
ternilai manfaatnya karena di dalamnya terdapat keanekaragaman hayati sebagai
sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air,
pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk
kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan rekreasi.
Pemanfaatan
hutan dan perlindungan telah di atur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No.
23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan
Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan
Hutan, namun gangguan terhadap
sumberdaya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin
meeningkat. Kerusakan hutan tahun 2012 di Indonesia mencapai 300 ribu ha per
tahun. Sedang kurun waktu 2006-2010 kerusakan hutan di Indonesia mencapai 2
juta ha per tahunnya.
Penurunan
kondisi sumberdaya alam ini terutama karena terjadinya kerusakan hutan.
Kerusakan hutan yang meliputi kebakaran hutan, penebangan liar dan merupakan
salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kerusakan hutan cukup
besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya
nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah serta perubahan iklim mikro maupun global. Dimana
kerusakan hutan disebabkan oleh adanya pengembalaan liar.
Hutan
kemasyarakatan merupakan hutan rakyat yang dibangun di atas lahan milik Negara
khususnya di atas kawasan hutan Negara. Dalam hal ini hak pengelolaan atas
bidang kawasan ini diberikan kepada sekelompok warga masyarakat biasanya
berbentuk kelompok tani hutan atau koperasi sebuah proses perubahan yang
mengarah pada keterlibatan masyarakat yang lebih luas dalam pengelolaan hutan.
Hutan kemasyarakatan tidak memiliki sistem atau definisi yang baku dan
berkembang sesuai dengan kebutuhan, kondisi masyarakat dan sistem sosial
ekonomi, serta kesepakatan diantara pihak-pihak yang terlibat.
Aktivitas
masyarakat di dalam dan di sekitar Hutan Kemasyarakatan Desa Gunung Silanu
Kecamatan Bangkala Kabupten Jeneponto adalah bersawah, berkebun, beternak, dan
sebagian masyarakat melakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan
kayu seperti kayu bakar.
Beberapa
penelitian persepsi masyarakat terhadap hutan dan keberadaan serta persepsi
masyarakat terhadap pengelolaan hutan, salah satu diantaranya adalah hasil
penelitian oleh Awaluddin (1990), tentang Persepsi Masyarakat Terhadap
Pengelolaan Hutan Lindung Di Kompleks Hutan Balang Pesoang, untuk mengetahui
persepsi masyarakat terhadap pengelolaan hutan lindung. Dengn hasil penelitian
bahwa tingkat pendidikan memiliki ikatan yang cukup erat dengan persepsi
terhadap kegiatan pembangunan hutan lindung di Kompleks Hutan Balang Pesoang.
Selain itu, penelitian tentang Studi Persepsi Masyarakat Terhadap Hutan Dan
Keberadaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di Kelurahan Balleangin,
Kecamatan Balocci Kabupaten Pangkep oleh Salmunius Salle (2006) dengan hasil
penelitian bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat
terhadap hutan dan keberadaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung misalnya
tingkat pendidikan, status sosial, dan luas lahan.
Oleh
karena itu penulis tertarik untuk meneliti tentang Persepsi Masyarakat Terhadap
Hutan Kemasyarakatan Di Desa Gunung Silanu Kecamatan Bangkala Kabupaten
Jeneponto.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan
masalah pada penelitian ini adalah bagaimana
Persepsi Masyarakat Terhadap Hutan Kemasyarakatan di Desa Gunung Silanu
Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui Persepsi Masyarakat Terhadap Hutan
Kemasyarakatan di Desa Gunung Silanu Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil
penelitian ini di harapkan dapat berguna sebagai berikut :
1. Sebagai
bahan pertimbangan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan dimasa yang akan datang.
2. Sebagai
bahan informasi bagi peneliti selanjutnya.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Persepsi
Menurut
Ruch (1967), Persepsi adalah suatu proses tentang petunjuk-petunjuk inderawi
(sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk
memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu
situasi tertentu.
Beberapa
hal yang mempengaruhi persepsi adalah :
1.
Pelaku persepsi, bila
seorang individu memandang pada suatu target dan mencoba menafsirkan apa yang
dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik
pribadi dari pelaku persepsi, antara lain sikap, motif kebutuhan individu,
suasana hati, pengalaman masa lalu, prestasi belajar sebelumnya dan pengharapan.
2. Target
yang akan diamati, karakteristiknya dapat mempengaruhi apa yang di persepsikan.
3. Situasi
yaitu unsur-unsur dalam lingkungan sekitar dapat mempengaruhi persepsi (Robins,
1996).
Menurut
Saptorini (1989), persepsi adalah suatu proses mental yang rumit dan melibatkan
berbagai kegiatan untuk menggolongkan stimulus yang masuk sehingga menghasilkan
tanggapan untuk memahami stimulus tersebut. Persepsi dapat terbentuk setelah
melalui berbagai kegiatan, yakni proses fisik (penginderaan), fisiologis (pengiriman
hasil penginderaan ke otak melalui saraf sensoris) dan psikologis (ingatan,
perhatian, pemrosesan informasi di otak). Sedangkan persepsi menurut Jalaluddin
(1998), adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang
diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
Melalui
persepsi, seseorang terus menerus melakukan hubungan dengan lingkungan dan
orang lain. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera penglihat,
pendengar, peraba, perasa dan penciuman. Persepsi tiap-tiap individu tentang
sesuatu akan berbeda-beda karena persepsi seseorang terhadap sesuatu akan
mempengaruhi pikirannya. Persepsi akan memungkinkan manusia memberi penilaian
terhadap suatu kondisi tertentu karena rangsangan (stimulus) yang diberikan. Penilaian seseorang mengenai rangsangan
tersebut dilakukan melalui proses kognitif. Menurut Desmita (2009), “proses
kognitif yaitu proses mental yang memugkinkan seseorang mengevaluasi, memaknai,
dan menggunakan informasi yang diperoleh melalui inderanya”. Proses kognitif
ini yang mengarahkan pola pikir dan reaksi-reaksi kognitif seseorang sehingga
memberi perbedaan persepsi dari masing-masing individu.
Persepsi
merupakan salah satu aspek kognitif manusia yang sangat penting. Hal ini
memungkinkan manusia untuk mengetahui dan memahami dunia sekelilingnya.
Persepsi diawali melalui sebuah penginderaan dari stimulus yang diterima
seseorang, stimulus tersebut
dilanjutkan sebagai sebuah proses persepsi untuk kemudian diinterpretasikan.
Dengan persepsi, manusia dapat menangkap dan memaknai berbagai fenomena,
informasi atau data yang senantiasa mengitarinya. Riset mengenai persepsi
menunjukkan bahwa individu yang berbeda dapat melihat hal yang sama namun dapat
memahaminya secara berbeda.
Stephen P. Robbins (1999), yang menyatakan
bahwa karakteristik sasaran yang diobservasi dapat mempengaruhi apa yang
dipersepsikan. Persepsi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor dari setiap
individu. Sikap, kepribadian, motif, kepentingan pribadi, pengalaman masa lalu,
harapan merupakan beberapa faktor dari individu yang bisa membentuk sekaligus
membiaskan persepsi selain itu karakteristik dari sasaran yang diobservasi juga
dapat menjadi faktor yang berpengaruh besar terhadap persepsi.
2.2. Masyarakat
Masyarakat secara etimologi berasal dari
bahasa Arab dengan akar kata syarakayang
berarti ikut serta atau berperan serta. Sedangkan dalam bahasa Inggris di sebut
juga dengan society yang berasal dari
bahasa latin Socius yang berarti kawan. Nugraha dan Nututujo (2005),
mendefenisikan masyarakat sebagai suatu kehidupan ummat manusia yang
berintraksi sesuai dengan sistem adat tertentu yang sifatnya berkesinambungan
dan terkait oleh satu rasa identitas bersama.
Menurut Betrand dalam Wisadirana (2004),
masyarakat merupakan hasil dari suatu periode perubahan budaya dan
akumulasi budaya. Jadi masyarakat bukan hanya
sekedar jumlah penduduk saja, melainkan sebagai suatu sistem yang
dibentuk dari hubungan antara mereka, sehingga menampilkan suatu realita
tertentu yang mempunyai cirri-ciri tersendiri. Dimana dari hubungan antara
mereka ini terbentuk suatu kumpulan manusia yang kemudian menghasilkan suatu
kebudayaan. Jadi masyarakat adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dan
menghasilkan suatu kebudayaan. Sekelompok orang yang mempunyai suatu kebudayaan
yang sama atau setidaknya mempunyai sebuah kebudayaan bersama yang dapat
dibedakan dari yang dipunyai oleh sekelompok lainnya dan yang tinggal disatu
daerah wilayah tertentu mempunyai perasaan akan adanya persatuan diantara
anggotanya dan menganggap diri mereka sebagai satu kesatuan yang berbeda dari
lainnya.
Masyarakat
sekitar hutan adalah masyarakat yang tinggal disekitar hutan baik yang
memanfaatkan hasil hutan tersebut secara langsung maupun tidak langsung. Banyak
sekali masyarakat Indonesia meskipun jumlahnya tidak diketahui secara pasti
tinggal didalam atau dipinggir hutan yang hidupnya bergantung pada hutan. Pada
pertengahan tahun 2000 Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa 30 juta penduduk
secara langsung mengandalkan hidupnya pada sektor kehutanan meskipun tingkat
ketergantungannya tidak didefenisikan. Sebagian besar masyarakat hutan hidup
dengan berbagai strategi ekonomi tradisional yakni menggabungkan perladangan
dan berburu, seperti kayu dan hasil hutan lainnya (Hardjasoemantri, 1985).
Masyarakat yang tinggal disekitar
hutan sesungguhnya dapat menjadi pilar bagi terciptanya pengelolaan hutan
secara lestari. Perilaku mereka merupakan perilaku yang paling kruisal dalam
berinteraksi dengan hutan akan mengarah pada terciptanya pengeksploitasian dan
pemanfaatan secara tidak bertanggung jawab yang berujuung pada kerusakan hutan
yang pada akhirnya juga akan berdampak buruk terhadap kehidupan mereka sendiri.
Berdasarkan pasal 69 dan 70
Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa masyarakat
berkewajiban ikut serta dalam menjaga hutan dari gannguan perusakan, berperan
aktif dalam rehabilitasi, turut berperan serta dalam pembangunan kehutanan dan
pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat yang terkait langsung dengan
berbagai upaya dalam rangka penyelamatan maupun pemanfaatan hutan dan lahan
sehingga lestari dan berkesinambungan.
2.3. Persepsi Masyarakat
Pengertian persepsi berasal dari
bahasa Inggris perseption yang
artinya persepsi, penglihatan, tanggapan yaitu proses seseorang menjadi sadar
akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya
atau pengetahuan lingkungan yang diperoleh melalui data indera (Kartono &
Gulo, 1987). Melalui persepsi individu dapat menyadari tentang keadaan diri
individu yang bersangkutan.
Pakar
organisai bernama Robbins (2001), mengungkapkan bahwa Persepsi dapat
didefinisikan sebagai proses dengan individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar
memberi makna kepada lingkungan mereka. Persepsi meliputi juga kognisi
(pengetahuan), yang mencakup penafsiran objek. Tanda orang dari sudut
pengalaman yang bersangkutan (Gibson, 1986).
Persepsi
masyarakat dapat disimpulkan sebagai tanggapan atau pengetahuan lingkungan dari
kumpulan individu-individu yang saling bergaul dan berinteraksi karena
mempunyai nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur merupakan kebutuhan
bersama berupa suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontiniu yang
terikat oleh suatu identitas bersama yang diperoleh dari interprentasi data
indera.
Beberapa defenisi diatas secara
umum, dibuat kesimpulan tentang persepsi adalah penafsiran berdasarkan
data-data yang diperoleh dari lingkungan yang diserap oleh indera manusia
sebagai pengambilan inisiatif dari proses komunikasi.
2.4. Hutan Kemasyarakatan
Hutan
Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan
melibatkan masyarakat, di samping Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat. Banyak
pihak memandang kebijakan ini sebagai pengakuan negara terhadap pengelolaan
hutan oleh rakyat yang selama ini terabaikan, namun mampu menjaga kelestarian
alam dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Bagi masyarakat, hutan tak
hanya memiliki makna ekologis, tetapi juga sosial, budaya dan ekonomi.Selain
mengulas tentang kerangka kebijakan dan prosedur perizinan Hutan Kemasyarakatan
(HKm), Peran hutan kemasyarakatan dalam memperkuat hak kelola rakyat dan
mengurangi konflik kehutanan serta tantangan dalam pelaksanaannya. Artikel ini
diharapkan mampu menjadi jendela informasi bagi masyarakat sekitar hutan untuk
memperoleh hak kelolanya dan sekaligus mendorong percepatan pencapaian target
pengembangan Hutan Kemasyarakatan di Indonesia.
A. Kerangka Kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm)
Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah
hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat
di dalam dan sekitar kawasan hutan. Pemberdayaan masyarakat dilihat sebagai
upaya meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat agar mereka mendapatkan
manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas
dan pemberian akses dalam rangka kesejahteraan masyarakat. HKm hanya
diberlakukan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang tidak dibebani
hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan dimana kawasan tersebut menjadi
sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Izin Usaha Pemanfaatan Pengelolaan
HKm (IUPHKm) diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan diperpanjang sesuai
dengan hasil evaluasi setiap 5 tahun. HKm diperuntukkan bagi masyarakat miskin
yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan serta menggantungkan penghidupannya
dari memanfaatkan sumberdaya hutan. Adapun kerangka kebijakan tentang aturan
Hutan Kemasyarakatan adalah :
a.
Penetapan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat
(Kementerian Kehutanan).
b.
Perizinan yang di lakukan oleh pemerintah daerah Bupati,
Walikota, atau Gubernur.
c. Pengelolaan di lapangan yang
dilakukan oleh kelompok masyarakat
d. Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan
Hutan Kemasyarakatan.
B. Prosedur Perizinan Dan Pengelolaan
Hutan Kemasyarakatan (HKm)
Untuk melaksanakaan HKm ada empat
tahapan perizinan yang dibutuhkan yaitu
:
a. Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan
Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm)
b. Penetapan Area Kerja HKm
c. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan
Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm)
d. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu dalam HKm (IUPHHKHKm).
Hutan Kemasyarakatan diselenggarakan
dengan berpedoman kepada tiga asas, yaitu:
a. Manfaat dan lestari secara ekologi,
ekonomi, sosial dan budaya,
- Musyawarah mufakat, dan
- Keadilan.
Selain
itu, penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan juga berpedoman kepada prinsip-prinsip
berikut:
a. Tidak mengubah status dan fungsi
kawasan hutan,
- Pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dilakukan dari kegiatan penanaman,
- Mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya,
- Menumbuhkembangkan keanekaragaman komoditas dan jasa,
- Meningkatkan kesejahtaraan masyarakat yang berkelanjutan,
- Memerankan masyarakat sebagai pelaku utama,
- Adanya kepastian hukum,
- Transparansi dan akuntabilitas publik,
i. Partisipatif dalam pengambilan
keputusan.
C. Hak Kelola Rakyat dan Penyelesaian
Konflik pada Hutan Kemasyarakatan
Saat ini terdapat lebih 50 juta
penduduk miskin Indonesia yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan yang
menggantungkan penghidupannya akan sumberdaya hutan. Karenanya, kebijakan HKm
selain bertujuan untuk pemberdayaan masyarakat juga untuk mengatasi masalah
kemiskinan dengan membuka akses dan ruang kawasan hutan bagi masyarakat.
Dengan keberadaan Hutan
Kemasyarakatan, ada beberapa manfaat yang diperoleh bagi masyarakat, pemerintah
dan terhadap fungsi hutan yaitu :
1. Bagi masyarakat Hutan Kemasyarakatan
a. Memberikan kepastian akses untuk
turut mengelola kawasan hutan
b. Mencari sumber mata pencarian
c. Ketersediaan air yang dapat
dimanfaatkan untuk rumah tangga dan pertanian terjaga
d. Hubungan yang baik antara pemerintah
dan pihak terkait lainnya.
2. Bagi pemerintah Hutan Kemasyrakatan
a. Sambungan tidak langsung dari
masyarakat melalui rehabilitasi yang dilakukan secara swadaya dan swadana
b. Kegiatan Hutan Kemasyarakatan
berdampak kepada pengamanan hutan.
3. Bagi fungsi hutan dan restorasi
habitat Hutan Kemasyarakatan
a. Mendorong terbentuknya
keanekaragaman tanaman
b. Terjaganya fungsi ekologis dan
hidrologis, melalui pola tanam campuran dan teknis konservasi lahan yang
diterapkan.
c. Menjaga kekayaan flora dan fauna
yang telah ada sebelumnya.
Selain
itu, HKm diharapkan mampu mengubah paradigma pengelolaan hutan yang
sentralistik, dan telah menimbulkan deforestasi, marginalisasi hak-hak
masyarakat, keterpinggiran budaya dan kemiskinan. Melalui HKm diharapkan
perencanaan dan penetapan kawasan hutan dapat dilakukan dari bawah yaitu
berdasarkan fakta lapangan yang memperhatikan keberadaan masyarakat yang hidup
di dalam dan sekitar kawasan hutan.
Keberadaan
HKm diharapkan mampu menyelesaikan konflik-konflik kehutanan dengan memberikan
akses dan hak mengelola terkait klaim masyarakat dalam penguasaan kawasan
hutan. Dalam konteks tersebut, HKm diharapkan dapat menjamin keberlanjutan dan
transformasi ekonomi dan budaya masyarakatdi dalam dan sekitar kawasan hutan
yang membutuhkan pengakuan dan kepastian tenurial.
D. Hutan Kemasyarakatan Gunung Silanu
Pola
penggunaan lahan di Areal Kerja HKm Sumber Bahagia sangat bervariasi, mulai
dari pemanfaatan lahan untuk keperluan kebun/tegalan, alang-alang/semak belukar
dan hutan. Masyarakat yang berdiam di sekitar kawasan Areal Kerja HKm Sumber
Bahagia yaitu masyarakat Dusun Bira-bira Desa Gunung Silanu yang memiliki
ketergantungan yang tinggi pada kawasan ini. Hal ini disebabkan karena dari
dulu, sebelum adanya penetapan sebagai hutan lindung, orang tua
mereka sangat menggantungkan hidupnya pada areal ini. Sejak ditetapkan
sebagai hutan lindung, masyarakat kehilangan areal kelola. Hal ini akan menjadi
problem tersendiri dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk. HKm Gunung
Silanu mempunyai luas lahan sebesar 259 ha.
Secara
geografis Kabupaten Jeneponto terletak antara 5°23'12’’ - 5°421'1,2’’ LS dan
antara 119°29’12'' - 119°56’44,9'' BT. Kabupaten Jeneponto memiliki Luas
wilayah sebesar 747,79 km².
Sedangkan Jika dilihat dari letak geografisnya Desa Gunung Silanu merupakan dataran tinggi yang dikelilingi
gunung dengan
luas wilayah 12,50 Km2. Desa
Gunung Silanu dihuni oleh 801KK yang terdiri dari 3.176 jiwa dengan perbandingan
laki-laki 1.458 jiwa sedangkan perempuan 1.728 jiwa (sesuai dengan hasil sensus
2007) Menurut pembagian Administrasi kawasan
Areal Kerja HKm Sumber Bahagia terletak di Dusun Bira-bira. Dusun
Bira-bira adalah Salah Satu Dusun yang
terletak di Desa Gunung Silanu yang memiliki wilayah yang cukup terpencil yakni Dusun
Bira-bira (Parangbenrong) yang belum bisa terjangkau kendaraan roda empat,
khususnya pada musim hujan karena kondisi jalanan yang belum stabil, selain itu
sarana dan jaringan komunikasi yang masih terbatas, wilayah tersebut berbatasan
dengan: Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Gowa, selatan dengan Dusun
Parang Boddong, Sebelah Timur dengan Desa Gunung Silanu dan sebelah Barat
berbatasan dengan Kec. Bangkala Barat.
Beberapa Kelompok Tani Hutan
Kemasyarakatan Gunung Silanu berdasarkan Surat Keputusan Bupati Jeneponto
adalah sebagai berikut :
1. Kelompok
Tani Sumber Bahagia Nomor/186 tahun 2010 Tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan
Kemasyarakatan ( IUPHKm) dengan luas lahan 55 hektar dan jumlah anggota 33
orang.
2. Kelompok
Tani Minasa Te’ne Pa’mai Nomor/187 tahun 2010 Tentang Izin Usaha Pemanfaatan
Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) dengan luas lahan 84 hektar dan jumlah anggota 31
orang.
3. Kelompok
Tani Jihad Nomor/188 tahun 2010 Tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan
Kemasyarakatan (IUPHKm) dengan luas lahan 75 hektar dan jumlah anggota 30
orang.
4. Kelompok
Tani Abbulo Sibatang Nomor/189 tahun 2010 Tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan
Kemasyarakatan (IUPHKm) dengan luas lahan 45 hektar dan jumlah anggota 23
orang.
2.5.Kerangka Pikir
Berdasarkan uraian pada kerangka teoritis, melalui
penelitian ini akan diungkapkan kondisi masyarakat di dalam dan sekitar Areal
Hutan Kemasyarakatan Di Desa Gunung Silanu Kecamatan Bangkala Kabupaten
Jeneponto. Untuk lebih jelasnya kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat
pada gambar 1.
Gambar
1. Kerangka pikir Penelitian Persepsi Masyarakat Terhadap Hutan Kemasyarakatan
III.
METODE
PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini
dilaksanakan di Desa Gunung Silanu Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto.
Penelitian ini dilaksanakan
dalam waktu kurang lebih 2 (dua) bulan, dimana penelitian awal dimulai dari
bulan Mei-Juni 2015.
3.2. Objek dan Alat Penelitian
1.
Objek Penelitian
Objek di penelitian ini adalah masyarakat yang terlibat dalam PengelolaanHutan Kemasyarakatan di Desa Gunung
Silanu Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto.
2.
Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah:
a. Daftar pertanyaan ( Kuisioner ).
b. Alat tulis untuk
mencatat setiap informasi responden.
c. Buku tally sheet, digunakan untuk rekapitulasi hasil data responden.
d. Kamera
(foto), untuk dokumentasi.
3.3.Teknik Penentuan Responden
Responden yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalahmasyarakat yang
terlibat langsung dalam pengelolaan kawasan hutan kemasyarakatan di Desa Gunung
Silanu Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto dari 4
kelompok tani masing-masing anggota kelompok tani diambil sebanyak 10
orang sehingga jumlah responden sebanyak 40 orang.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam hal ini teknik pengambilan data dilakukan dalam
pengambilan data primer. Adapun cara pengambilan data sebagai berikut:
a.
Observasi adalah teknik pengumpulan
data yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan
secara langsung terhadap objek yang akan diteliti. Adapun objek yang diteliti
adalah Masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan.
b.
Kuisioner, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara menyusun daftar
pertanyaan yang harus dijawab responden, disusun secara sistematis sehingga
dapat berfungsi intervew schedule
dalam penelitian.
3.5. Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
a.
Data primer dikumpulkan melalui
wawancara masing-masing responden , yang meliputi: Data identitas responden, pengetahuan dasar Masyarakat tentang HKm, aspek
ekonomi, sosial dan ekologi Terhadap Hutan Kemasyarakatan di Desa Gunung Silanu
Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto.
b.
Data sekunder diperoleh dariKantor Desa
Gunung Silanu, Kantor Kecamatan
Bangkala dan Kantor Dinas Kehutanan Kabupaten Jeneponto.
3.6. Analisis Data
Proses analisis
data dimulai dengan menelaah seluruh data yang diperoleh dengan kuesioner baik
wawancara, maupun di isikan oleh masyarakat kemudian dideskripsikan dengan
menghitung persentase jawaban yang diberikan responden.
Data yang
dikumpulkan dari penelitian ini terutama data yang diperoleh dari rekapitulasi
responden kemudian dianalisa secara deskriptif
kuantitatif. Analisa data untuk menjawab pertanyaan adalah analisa pengukuran
terhadap indicator pengamatan dengan menggunakan “Ratin Scale” atau skala nilai
(Sangarimbun dan Effendi, 1999), dengan ketentuan
1. Sangat sering : 3
2. Sering : 2
3. Tidak pernah :1
Jadi kategori adalah sebagai berikut:
1.
Tinggi: 2,34-3,00
2.
Sedang: 1,67-2,33
3.
Rendah: 1,00-1,66
3.7.Defenisi Operasional
Batasan-batasan operasional yang digunakan dalam
penelitian ini mencakup beberapa istilah :
1.
Hutan Kemasyarakatan adalah
hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan
masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya.
2.
Persepsi adalah tanggapan masyarakat disekitar
hutan kemasyarakatan (HKm) di Desa Gunung Silanu Kecamatan Bangkala Kabupaten
Jeneponto. Di dalam penelitian ini yang dimaksud persepsi adalah tahap
pelaksanaannya.
3.
Masyarakat adalah masyarakat yang terlibat langsung
dalam kegiatan hutan kemasyarakatan (HKm)
4.
Respon adalah pendapat, tanggapan, pandangan dan
penerimaan responden terhadap pengelolaan hutan kemasyarakatan berdasarkan
pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan berfikir.
5.
Responden adalah masyarakat yang berada didaerah
kawasan Hutan Kemasyarakatan untuk dimintai keterangan dalam penelitian ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar